Laman

Friday, September 16, 2011

Rendra The Best Potry Reading from Indonesia

Renda is the first poet who also became the best readers of poetry in Indonesia. Renda style poetry reading, followed by many subsequent poets and poetry readers. That said, Renda became a new style of poetry readings milestone. Renda Before introducing poetry reading, read poetry style has always impressed lilting. By Renda, read poetry to be varied, as if the sentences in the poem read like someone who is talking, so the poem that was read to become more communicative and alive.
read more "Rendra The Best Potry Reading from Indonesia"

Thursday, April 7, 2011

Kangen

Kau tak akan mengerti bagaimana kesepianku
menghadapi kemerdekaan tanpa cinta
kau tak akan mengerti segala lukaku
kerna luka telah sembunyikan pisaunya.
Membayangkan wajahmu adalah siksa.
Kesepian adalah ketakutan dalam kelumpuhan.
Engkau telah menjadi racun bagi darahku.
Apabila aku dalam kangen dan sepi
itulah berarti
aku tungku tanpa api.

dan sepi yang syahdu


Sumber: http://budhisetyawan.wordpress.com/2010/03/ (diambil dari buku : EMPAT KUMPULAN SAJAK, karya RENDRA, penerbit Pustaka Jaya, cetakan kedelapan, tahun 2003)
read more "Kangen"

Kenangan dan Kesepian

Rumah tua
dan pagar batu.
Langit di desa
sawah dan bambu.

Berkenalan dengan sepi
pada kejemuan disandarkan dirinya.
Jalanan berdebu tak berhati
lewat nasib menatapnya.

Cinta yang datang
burung tak tergenggam.
Batang baja waktu lengang
dari belakang menikam.

Rumah tua
dan pagar batu.
Kenangan lama
dan sepi yang syahdu

(diambil dari buku : EMPAT KUMPULAN SAJAK, karya RENDRA, penerbit Pustaka Jaya, cetakan kedelapan, tahun 2003)
read more "Kenangan dan Kesepian"

Bersatulah Pelacur-Pelacur Kota Jakarta

Pelacur-pelacur Kota Jakarta
Dari kelas tinggi dan kelas rendah
Telah diganyang
Telah haru-biru
Mereka kecut
Keder
Terhina dan tersipu-sipu

Sesalkan mana yang mesti kausesalkan
Tapi jangan kau lewat putus asa
Dan kaurelakan dirimu dibikin korban

Wahai pelacur-pelacur kota Jakarta
Sekarang bangkitlah
Sanggul kembali rambutmu
Karena setelah menyesal
Datanglah kini giliranmu
Bukan untuk membela diri melulu
Tapi untuk lancarkan serangan
Karena
Sesalkan mana yang mesti kau sesalkan
Tapi jangan kaurela dibikin korban

Sarinah
Katakan kepada mereka
Bagaimana kau dipanggil ke kantor menteri
Bagaimana ia bicara panjang lebar kepadamu
Tentang perjuangan nusa bangsa
Dan tiba-tiba tanpa ujung pangkal
Ia sebut kau inspirasi revolusi
Sambil ia buka kutangmu

Dan kau Dasima
Khabarkan pada rakyat
Bagaimana para pemimpin revolusi
Secara bergiliran memelukmu
Bicara tentang kemakmuran rakyat dan api revolusi
Sambil celananya basah
Dan tubuhnya lemas
Terkapai disampingmu
Ototnya keburu tak berdaya

Politisi dan pegawai tinggi
Adalah caluk yang rapi
Kongres-kongres dan konferensi
Tak pernah berjalan tanpa kalian
Kalian tak pernah bisa bilang 'tidak'
Lantaran kelaparan yang menakutkan
Kemiskinan yang mengekang
Dan telah lama sia-sia cari kerja
Ijazah sekolah tanpa guna
Para kepala jawatan
Akan membuka kesempatan
Kalau kau membuka kesempatan
Kalau kau membuka paha
Sedang diluar pemerintahan
Perusahaan-perusahaan macet
Lapangan kerja tak ada
Revolusi para pemimpin
Adalah revolusi dewa-dewa
Mereka berjuang untuk syurga
Dan tidak untuk bumi
Revolusi dewa-dewa
Tak pernah menghasilkan
Lebih banyak lapangan kerja
Bagi rakyatnya
Kalian adalah sebahagian kaum penganggur yang mereka ciptakan
Namun
Sesalkan mana yang kau kausesalkan
Tapi  jangan kau lewat putus asa
Dan kau rela dibikin korban
Pelacur-pelacur kota Jakarta
Berhentilah tersipu-sipu
Ketika kubaca di koran
Bagaimana badut-badut mengganyang kalian
Menuduh kalian sumber bencana negara
Aku jadi murka
Kalian adalah temanku
Ini tak bisa dibiarkan
Astaga
Mulut-mulut badut
Mulut-mulut yang latah bahkan seks mereka politikkan

Saudari-saudariku
Membubarkan kalian
Tidak semudah membubarkan partai politik
Mereka harus beri kalian kerja
Mereka harus pulihkan darjat kalian
Mereka harus ikut memikul kesalahan

Saudari-saudariku. Bersatulah
Ambillah galah
Kibarkan kutang-kutangmu dihujungnya
Araklah keliling kota
Sebagai panji yang telah mereka nodai
Kinilah giliranmu menuntut
Katakanlah kepada mereka
Menganjurkan mengganyang pelacuran
Tanpa menganjurkan
Mengahwini para bekas pelacur
Adalah omong kosong

Pelacur-pelacur kota Jakarta
Saudari-saudariku
Jangan melulur keder pada lelaki
Dengan mudah
Kalian bisa telanjangi kaum palsu
Naikkan tarifmu dua kali
Dan mereka akan klabakan
Mogoklah satu bulan
Dan mereka akan puyeng
Lalu mereka akan berzina
Dengan isteri saudaranya.

Dipinjam dari http://birungu.blogdrive.com/archive/155.html, dan blog ini mengambil dari sumber Buku Puisi-puisi Rendra terbitan Dewan Bahasa dan Pustaka.
read more "Bersatulah Pelacur-Pelacur Kota Jakarta"

Sajak Pertemuan Mahasiswa

Matahari terbit pagi ini
mencium bau kencing orok di kaki langit,
melihat kali coklat menjalar ke lautan,
dan mendengar dengung lebah di dalam hutan.

Lalu kini ia dua penggalah tingginya.
Dan ia menjadi saksi kita berkumpul di sini memeriksa keadaan.

Kita bertanya :
Kenapa maksud baik tidak selalu berguna.
Kenapa maksud baik dan maksud baik bisa berlaga.
Orang berkata “ Kami ada maksud baik “
Dan kita bertanya : “ Maksud baik untuk siapa ?”

WS Rendra Muda

Ya ! Ada yang jaya, ada yang terhina
Ada yang bersenjata, ada yang terluka.
Ada yang duduk, ada yang diduduki.
Ada yang berlimpah, ada yang terkuras.
Dan kita di sini bertanya :
“Maksud baik saudara untuk siapa ?
Saudara berdiri di pihak yang mana ?”

Kenapa maksud baik dilakukan
tetapi makin banyak petani yang kehilangan tanahnya.
Tanah-tanah di gunung telah dimiliki orang-orang kota.
Perkebunan yang luas
hanya menguntungkan segolongan kecil saja.
Alat-alat kemajuan yang diimpor
tidak cocok untuk petani yang sempit tanahnya.

Tentu kita bertanya : “Lantas maksud baik saudara untuk siapa ?”

Sekarang matahari, semakin tinggi.
Lalu akan bertahta juga di atas puncak kepala.
Dan di dalam udara yang panas kita juga bertanya :
Kita ini dididik untuk memihak yang mana ?
Ilmu-ilmu yang diajarkan di sini
akan menjadi alat pembebasan,
ataukah alat penindasan ?

Sebentar lagi matahari akan tenggelam.
Malam akan tiba. Cicak-cicak berbunyi di tembok.
Dan rembulan akan berlayar.
Tetapi pertanyaan kita tidak akan mereda.
Akan hidup di dalam bermimpi.
Akan tumbuh di kebon belakang.

Dan esok hari matahari akan terbit kembali.
Sementara hari baru menjelma.
Pertanyaan-pertanyaan kita menjadi hutan.
Atau masuk ke sungai menjadi ombak di samodra.

Di bawah matahari ini kita bertanya :
Ada yang menangis, ada yang mendera.
Ada yang habis, ada yang mengikis.
Dan maksud baik kita berdiri di pihak yang mana !

Jakarta 1 Desember 1977
Potret Pembangunan dalam Puisi

Sajak ini dipersembahkan kepada para mahasiswa Universitas Indonesia Jakarta. Pernah dibacakan dalam salah satu adegan film “Yang Muda Yang Bercinta”, garapan sutradara Sumandjaja.
read more "Sajak Pertemuan Mahasiswa"

Doa di Jakarta


Rendra_Anak Muda_3.adibsusilasiraj.blogspot.com
Tuhan yang Maha Esa,
alangkah tegangnya
melihat hidup yang tergadai,
fikiran yang dipabrikkan,
dan masyarakat yang diternakkan.
Malam rebah dalam udara yang kotor.
Di manakah harapan akan dikaitkan
bila tipu daya telah menjadi seni kehidupan?
Dendam diasah di kolong yang basah
siap untuk terseret dalam gelombang edan.
Perkelahian dalam hidup sehari-hari
telah menjadi kewajaran.
Pepatah dan petitih
tak akan menyelesaikan masalah
bagi hidup yang bosan,
terpenjara, tanpa jendela.
Tuhan yang Maha Faham,
alangkah tak masuk akal
jarak selangkah
yang bererti empat puluh tahun gaji seorang buruh,
yang memisahkan
sebuah halaman bertaman tanaman hias
dengan rumah-rumah tanpa sumur dan W.C.
Hati manusia telah menjadi acuh,
panser yang angkuh,
traktor yang dendam.
Tuhan yang Maha Rahman,
ketika air mata menjadi gombal,
dan kata-kata menjadi lumpur becek,
aku menoleh ke utara dan ke selatan -
di manakah Kamu?
Di manakah tabungan keramik untuk wang logam?
Di manakah catatan belanja harian?
Di manakah peradaban?
Ya, Tuhan yang Maha Hakim,
harapan kosong, optimisme hampa.
Hanya akal sihat dan daya hidup
menjadi peganganku yang nyata.
Sumber : id.wikipedia.org
read more "Doa di Jakarta"

Rajawali

Rendra_Pidato_3.adibsusilasiraj.blogspot.com
Sebuah sangkar besi
tidak bisa mengubah rajawali
menjadi seekor burung nuri

Rajawali adalah pacar langit
dan di dalam sangkar besi
rajawali merasa pasti
bahwa langit akan selalu menanti

Langit tanpa rajawali
adalah keluasan dan kebebasan tanpa sukma
tujuh langit, tujuh rajawali
tujuh cakrawala, tujuh pengembara

Rajawali terbang tinggi memasuki sepi
memandang dunia
rajawali di sangkar besi
duduk bertapa
mengolah hidupnya

Hidup adalah merjan-merjan kemungkinan
yang terjadi dari keringat matahari
tanpa kemantapan hati rajawali
mata kita hanya melihat matamorgana

Rajawali terbang tinggi
membela langit dengan setia
dan ia akan mematuk kedua matamu
wahai, kamu, pencemar langit yang durhaka
read more "Rajawali"

Megatruh Kambuh

Renungan Seorang Penyair Dalam Menanggapi Kalabendu

Penyair besar Ranggawarsita, di pertengahan abad 19, menggambarkan zaman pancaroba sebagai “Kalatida” dan “Kalabendu”.

Zaman “Kalatida” adalah zaman ketika akal sehat diremehkan. Perbedaan antara benar dan salah, baik dan buruk, adil dan tak adil, tidak digubris. Krisis moral adalah buah dari krisis akal sehat. Kekuasaan korupsi merata dan merajalela karena erosi tata nilai terjadi di lapisan atas dan bawah.

Zaman “Kalabendu” adalah zaman yang mantap stabilitasnya, tetapi alat stabilitas itu adalah penindasan. Ketidakadilan malah didewakan. Ulama-ulama menghianati kitab suci. Penguasa lalim tak bisa ditegur. Korupsi dilindungi. Kemewahan dipamerkan di samping jeritan kaum miskin dan tertindas. Penjahat dipahlawankan, orang jujur ditertawakan dan disingkirkan.

Gambaran sifat dan tanda-tanda dari “Kalatida” dan “Kalabendu” tersebut di atas adalah saduran bebas dari isi tembang aslinya. Namun secara ringkas bisa dikatakan bahwa “Kalatida” adalah zaman edan, karena akal sehat diremehkan, dan “Kalabendu” adalah zaman hancur dan rusaknya kehidupan karena tata nilai dan tata kebenaran dijungkir-balikkan secara merata.

Lalu, menurut Ranggawarsita, dengan sendirinya, setelah “Kalatida” dan “Kalabendu” pasti akan muncul zaman “Kalasuba”, yaitu zaman stabilitas dan kemakmuran.

Apa yang dianjurkan oleh Ranggawarsita agar orang bisa selamat di masa “Kalatida” adalah selalu sadar dan waspada, tidak ikut dalam permainan gila. Sedangkan di masa “Kalabendu” harus berani prihatin, sabar, tawakal dan selalu berada di jalan Allah sebagaimana tercantum di dalam kitab suci-Nya. Maka nanti akan datang secara tiba-tiba masa “Kalasuba” yang ditegakkan oleh Ratu Adil.


Ternyata urutan zaman “Kalatida”, “Kalabendu”, dan “Kalasuba” tidak hanya terjadi di kerajaan Surakarta di abad ke 19, tetapi juga terjadi di mana-mana, di dunia pada abad mana saja. Di Yunani purba, di Romawi, di Reich pertama Germania, di Perancis, di Spanyol, Portugal, Italia, Iran, Irak, India, Russia, Korea, Cina, yah di manapun, kapanpun. Begitulah rupanya irama “wolak waliking zaman” atau “timbul tenggelamnya zaman”, atau “pergolakan zaman”. Alangkah tajamnya penglihatan mata batin penyair Ranggawarsita ini!

Republik Indonesia juga tidak luput dari “pergolakan zaman” serupa itu. Dan ini yang akan menjadi pusat renungan saya kali ini.

Namun sebelum itu perkenankan saya mengingatkan bahwa menurut teori chaos dari dunia ilmu fisika modern diterangkan bahwa di dalam chaos terdapat kemampuan untuk muncul order, dan kemampuan itu tidak tergantung dari unsur luar. Hal ini sejajar dengan pandangan penyair Ranggawarsita mengenai “Kalasuba”. Katanya, Ratu Adil bukan lahir dari rekayasa manusia, tetapi seperti ditakdirkan ada begitu saja. Kesejajaran teori chaos dengan teori pergolakan zamannya Ranggawarsita menunjukkan sekali lagi ketajaman dan kepekaan mata batinnya.

Melalui pidato ini saya persembahkan sembah sungkem saya yang khidmat kepada penyair besar Ranggawarsita.

Kembali pada renungan mengenai gelombang “Kalatida”, “Kalabendu” dan “Kalasuba” yang terjadi di Republik Indonesia.

Usaha setiap manusia yang hidup di dalam masyarakat, kapanpun dan di manapun, pada akhirnya akan tertumbuk pada “Mesin Budaya”. Adapun “Mesin Budaya” itu adalah aturan-aturan yang mengikat dan menimbulkan akibat. Etika umum, aturan politik, aturan ekonomi, dan aturan hukum, itu semua adalah aturan-aturan yang tak bisa dilanggar begitu saja tanpa ada akibat. Semua usaha manusia dalam mengelola keinginan dan keperluannya akan berurusan dengan aturan-aturan itu, atau “Mesin Budaya” itu.


“Mesin Budaya” yang berdaulat rakyat, adil, berperikemanusiaan, dan menghargai dinamika kehidupan, adalah “Mesin budaya” yang mampu mendorong daya hidup dan daya cipta anggota masyarakat dalam Negara. Tetapi “Mesin budaya” yang berdaulat penguasa, yang menindas dan menjajah, yang elitis dan tidak populis, sangat berbahaya untuk daya hidup dan daya cipta bangsa.

Di dalam masyarakat tradisional yang kuat hukum adatnya, rakyat dan alam lingkungannya hidup dalam harmoni yang baik, yang diatur oleh hukum adat. Selanjutnya hukum adat itu dijaga oleh para tetua adat atau dewan adat. Kemudian ketika hadir pemerintah, maka pemerintah berfungsi sebagai pengemban adat yang patuh kepada adat. Jadi hirarki tertinggi di dalam ketatanegaraan masyarakat seperti itu adalah hukum adat yang dijaga oleh dewan adat. Kedua tertinggi adalah pemegang kekuasaan pemerintahan. Sedangkan masyarakat dan alam lingkungannya terlindungi di dalam lingkaran dalam dari struktur ketatanegaraan.

Dengan begitu kepentingan kekuasaan asing, yang politik ataupun yang dagang, tak bisa menjamah masyarakat dan alam lingkungannya tanpa melewati kontrol hukum adat, dewan adat dan penguasa pemerintahan. Itulah sebabnya masyarakat serupa itu sukar dijajah oleh kekuasaan asing.

Ditambah lagi kenyataan bahwa masyarakat dan alam lingkungan yang bisa hidup dalam harmoni secara baik -berkat tatanan hukum yang adil- pada akhirnya akan melahirkan masyarakat yang mandiri, kreatif dan dinamis karena selalu punya ruang untuk berinisiatif. Begitulah daulat hukum yang adil akan melahirkan daulat rakyat dan daulat manusia. Syahdan, rakyat yang berdaulat sukar dijajah oleh kekuasaan asing.
Memang pada kenyataannya suku-suku bangsa di Indonesia yang kuat tatanan hukum adatnya, tak bisa dijajah oleh V.O.C. Dan juga sukar dijajah oleh pemerintah Hindia Belanda. Suku-suku itu baru bisa ditaklukkan oleh penjajah pada abad 19, setelah orang Belanda punya senapan yang bisa dikokang, senapan mesin dan dinamit. Sedangkan Sulawesi Selatan baru bisa ditaklukkan pada tahun 1905, Toraja 1910, Bali 1910 dan Ternate 1923 serta Ruteng 1928. Sedangkan pada suku bangsa yang masyarakat dan alam lingkungannya, tidak dilindungi oleh hukum adat, rakyatnya lemah karena tidak berdaulat, yang berdaulat cuma rajanya. Hukum yang berlaku adalah apa kata raja. Kekuasaan asing dan para pedagang asing bisa langsung menjamah masyarakat dan alam lingkungannya asal bisa mengalahkan rajanya atau bisa bersekutu dengan rajanya.


Kohesi rakyat dalam masyarakat adat bisa kuat karena bersifat organis. Itulah tambahan keterangan kenapa mereka sukar dijajah. Sedangkan kohesi rakyat dalam masyarakat yang didominasi kedaulatan raja semata sangat lemah karena bersifat mekanis. Karenanya rentan terhadap penjajahan. Begitulah keadaan kerajaan Deli, Indragiri, Jambi, Palembang, Banten, Jayakarta, Cirebon, Mataram Islam, Kutai, dan Madura. Gampang ditaklukkan oleh V.O.C. Sejak abad 18 sudah terjajah. Para penjajah bersekutu dengan raja, langsung bisa mengatur kerja paksa dan tanam paksa. “Kalatida” dan “Kalabendu” melanda negara.

Ketika Hindia Belanda pada akhirnya bisa menaklukkan seluruh Nusantara, maka yang pertama mereka lakukan ialah dengan meng-erosi-kan hukum adat-hukum adat yang ada. Para penjaga adat diadu domba dengan para bangsawan di pemerintahan sehingga dengan melemahnya adat, melemah pulalah perlindungan daulat rakyat dan alam lingkungannya. Selanjutnya penghisapan kekayaan alam bisa lebih bebas dilakukan oleh para penjajah itu.

Di zaman penjajahan itu hukum adat yang sukar dilemahkan adalah yang ada di Bali karena hubungannya dengan agama dan pura, dan yang ada di Sumatra Barat karena hubungan dengan syariat dan kitab Allah.

Tata hukum dan tata negara sebagai “Mesin Budaya”, di zaman penjajahan Hindia Belanda menjadi “Mesin Budaya” yang buruk bagi kehidupan bangsa. Karena tata hukum dan tata negara Hindia Belanda memang diciptakan untuk kepentingan penjajahan.

Maka ketika membangun negara, pemerintah Hindia Belanda juga tidak punya kepentingan untuk memajukan bangsa, melainkan membangun untuk bisa menghisap keuntungan sebanyak-banyaknya untuk kepentingan kemakmuran dan kemajuan Kerajaan Belanda di Eropa.

Industrialisasi dilakukan dengan mendatangkan modal asing yang bebas pajak, alat berproduksi juga didatangkan dari luar negeri dengan bebas pajak, dan bahan baku juga diimport dengan bebas pajak pula, kemudian pabrik yang didirikan juga bebas dari pajak berikut tanahnya. Yang kena pajak cuma keuntungannya. Itupun boleh ditransfer ke luar negeri. Jadi devisa terbuka! Alangkah total dan rapi pemerintah Hindia Belanda membangun “Mesin Budaya” penghisapan terhadap daya hidup rakyat dan kekayaan alam lingkungan Indonesia. Semuanya itu di kokohkan dengan “Ordonansi Pajak 1925″.


Setelah Indonesia Merdeka, ternyata cara membangun Hindia Belanda masih terus dilestarikan oleh elit politik kita. “Ordonansi Pajak 1925″ hanya diubah judulnya menjadi “Undang-undang Penanaman Modal Asing”. Sehingga sampai sekarang kita sangat tergantung pada modal asing. Pembentukan modal dalam negeri serta perdagangan antar desa dan antar pulau tidak pernah dibangun secara serius.

Pembentukan sumber daya manusia hanya terbatas sampai melahirkan tukang-tukang, mandor dan operator. Kreator dan produser tak nampak ada. Mengkonsumsi teknologi yang dibeli disamakan dengan ambil alih teknologi.

Bagaimana mengembangkan sumber daya manusia tanpa menggalakkan lembaga-lembaga riset sebanyak-banyaknya! Tanpa riset kita hanya akan menjadi konsumen dalam perkembangan ilmu pengetahuan.

Dan juga melengahkan pembentukan industri hulu, seperti penjajah tempo dulu, itu tidak bisa diterima. Sangat menyedihkan bahwa pabrik baja kita ternyata tidak bisa mengolah bijih baja. Bisanya hanya mendaur ulang besi tua.

Akibat dari tidak adanya industri hulu, industri kita di hampir semua bidang: pesawat terbang, mobil, sepeda, obat batuk hitam, obat flu, cabe, kobis, padi , jagung, ayam potong, dll, dll, dll, semua assembling! Alat berproduksi dan bahan bakunya diimport!

Dan selagi kita belum mempunyai kemampuan menghasilkan mesin-mesin berat dan tenaga-tenaga manusia tingkat spesialis yang cukup jumlahnya, pemerintah kita, sejak zaman Orde Baru, telah menjual modal alam. Akibatnya yang memperoleh keuntungan besar adalah modal asing yang memiliki teknologi Barat dan tenaga-tenaga spesialis. Alam dan lingkungan rusak karena kita memang tak berdaya menghadapi kedahsyatan kekuatan modal asing.


Ketergantungan pada modal asing, pinjaman dari negeri-negeri asing dan bantuan-bantuan asing, menyebabkan pemerintah kita, dari sejak zaman Orde Baru, bisa tersesat ke dalam politik pertanian dan pangan dari lembaga-lembaga asing dan perusahaan-perusahaan multi nasional.

Dengan kedok “Revolusi Hijau” kekuatan asing bisa meyakinkan bahwa kita harus meningkatkan swadaya pangan. Dan tanpa ujung pangkal akal sehat, pemerintah Orde Baru menetapkan bahwa swadaya pangan itu pada intinya adalah swadaya beras. Seakan-akan dari Sabang sampai Merauke beras menjadi makanan utama, dan tanah dari Sabang sampai Merauke bisa ditanami beras. Dan solusi yang diambil untuk mengatasi kenyataan bahwa tanah yang bisa ditanami padi itu terbatas, maka para pakar asing menasehati agar ada intensifikasi pertanian padi, artinya: importlah bibit padi hibrida! Bibit asli terdesak dan akhirnya hampir punah. Bibit hibrida perlu pupuk. Didirikanlah pabrik pupuk dengan pinjaman asing. Pupuk itu mengandung beurat yang lama kelamaan tanah menjadi bantat.

Termasuk dalam program intensifikasi pangan dipakailah berbagai racun: Pestisida untuk membunuh hama tanaman. Fumisida untuk membunuh cendawan-cendawan, terutama cendawan di kebun buah-buahan. Herbisida untuk membasmi gulma. Maka gulma, jenis-jenis rumput yang ada di sela tanaman dianggap mengganggu. Sebenarnya gulma adalah bagian dari ekosistem tanah. Bisa disingkirkan secara sementara dengan disiangi. Tetapi kalau ditumpas dengan herbisida maka akan lenyaplah gulma itu selama-lamanya. Artinya rusaklah ekosistem. Dan pada hakekatnya herbisida itu berbahaya untuk semua organisme dan makhluk.

Beberapa ahli pertanian yang bersih hati mengatakan bahwa intensifikasi pemakaian pestisida, fumisida, dan herbisida ini menyebabkan agrikultur kehilangan “kultur” dan berubah menjadi “agrisida” atau ” agriracun”.

Racun dari pestisida, fumisida dan herbisida ini pada akhirnya masuk ke tanah dan meracuni air tanah. Sehingga penduduk yang tinggal di sekitar perkebunan-perkebunan mengalami cacat badan dan melahirkan bayi-bayi cacat.


Pemakaian pupuk urea menyebabkan biaya produksi pangan naik tinggi karena padi hibrida menuntut peningkatan jumlah pemakaian pupuk, secara lama kelamaan. Mahalnya biaya produksi padi dan rusaknya tanah ini yang mendorong kita tergantung pada import bahan makanan. Maksud hati ber-swadaya pangan, tetapi hasilnya justru ketergantungan pangan.

Agrisida yang merusak lingkungan dan sumber pangan kita, serta eksploitasi modal alam dengan serakah sebelum kita menguasai pengadaan mesin-mesin berat, modal nasional yang kuat, dan cukup tenaga spesialis, yang juga menusuk alam lingkungan, adalah tanggung jawab dari begawan-begawan ekonomi dan begawan-begawan pembangunan di zaman Orde Baru. Yang masih berkelanjutan sampai sekarang sebagai salah satu faktor “Kalabendu” yang kita hadapi saat ini. Sama beratnya dengan korupsi dan pelanggaran terhadap hak asasi.

Pembangunan dalam negara kita juga melupakan sarana-sarana pembangunan rakyat kecil dan menengah kecil. Padahal mereka adalah tulang punggung yang tangguh dari kekuatan ekonomi bangsa. Jumlahnya mencapai 45 juta dan bisa menampung 70 juta tenaga kerja. Sedangkan sumbangannya pada Gross National Product adalah 62%. Lebih banyak dari sumbangan BUMN. Namun begitu tidak ada program pemerintah dengan positif membantu usaha mereka: Jalan-jalan darat yang menjadi penghubung antar desa, yang penting untuk kegiatan ekonomi, rusak dan tak terurus. Bahan baku selalu terbatas persediaannya. Banyak bank yang tidak ramah kepada mereka. Grosir-grosir mempermainkan dengan check yang berlaku mundur. Dan pemerintah tidak pintar melindungi kepentingan mereka dari permainan kartel-kartel yang menguasai bahan baku.

Dari sejak abad 7 telah terbukti bahwa rakyat kecil menengah itu sangat adaptif, kreatif, tinggi daya hidupnya, ulet daya tahannya. Di abad 7 mereka yang seni pertaniannya menanam jewawut, dengan cepat menyerap seni irigasi dan menanam padi serta berternak lembu yang diperkenalkan oleh Empu Maharkandia dari India Selatan.

Selanjutnya mereka juga bisa menguasai seni menanam buah-buahan dari India semacam sawo, mangga, jambu, dsb. Bahkan pada tahun 1200, menurut laporan “Pararaton”, mereka sudah bisa punya perkebunan jambu. Begitu juga mereka cepat sekali menyerap seni menanam nila, bahkan sampai mengekspornya ke luar negeri. Begitu juga mereka adaptif dan kreatif di bidang kerajinan perak, emas, pertukangan kayu dan pandai besi, yang semuanya itu dilaporkan dalam kitab “Pararaton”.


Di zaman Islam masuk dari Utara, mereka juga cepat beradaptasi dengan tanaman-tanaman baru seperti kedele, ketan, wijen, soga, dsb. Dengan cepat mereka juga belajar membuat minyak goreng, krupuk, tahu, trasi, dendeng, manisan buah-buahan, dan kecap. Bahkan dengan kreatif mereka menciptakan tempe. Di bidang kerajinan tangan dengan cepat mereka menyerap seni membuat kain jumputan, membuat genting dari tanah, membangun atap limasan, menciptaan gandok dan pringgitan di dalam seni bangunan rumah. Pendeknya unsur-unsur perkembangan baru dalam kebudayaan cita rasa dan tata nilai cepat diserap oleh rakyat banyak.

Dan kemudian di zaman tanam paksa dan kerja paksa, kehidupan rakyat di desa-desa sangat terpuruk. Karena meskipun mereka bisa beradaptasi dengan tanaman baru seperti teh, kopi, karet, coklat, vanili, dsb., tetapi mereka hanya bisa jadi buruh perkebunan atau paling jauh jadi mandor, tak mungkin mereka menjadi pemilik perkebunan. Namun segera mereka belajar menanam sayuran baru seperti sledri, kapri, tomat, kentang, kobis, buncis, selada, wortel, dan sebagainya untuk dijual kepada “ndoro-ndoro penjajah” di perkebunan dan “ndoro-ndoro priyayi” di kota-kota. Akhirnya bencana menjadi keberuntungan. Petani-petani sayur mayur menjadi makmur. Dan sekarang meski mereka dalam keadaan teraniaya oleh keadaan dan tidak diperhatikan secara selayaknya oleh pemerintah, bahkan kini mereka digencet oleh kenaikan harga BBM, toh mereka tetap hidup dan bertahan. Kaki lima adalah ekspresi geliat perlawanan rakyat kecil terhadap kemiskinan. Luar biasa! Merekalah pahlawan pembangunan yang sebenarnya!

Seandainya pemerintah dan pemikir ekonomi memperhatikan dan membela kemampuan mereka, menciptakan sarana-sarana kemajuan untuk mereka, mereka adalah harapan kita untuk menjadi kekuatan ekonomi bangsa.

Tata Hukum dan Tata Negara yang berlaku sekarang ini masih meneruskan semangat undang-undang dan ketatanegaraan penjajah Hindia Belanda tempo dulu, yang sama-sama menerapkan keunggulan Daulat Pemerintah di atas Daulat Rakyat. Dan juga sama-sama menerapkan aturan politik ketatanegaraan yang memusat, dan sama-sama pula memperteguh aturan berdasarkan kekuasaan dan keperkasaan dan tidak kepada etika. Maka dengan sendirinya tak akan bisa berdaya mencegah krisis etika bangsa, bahkan malah mendorong para kuasa dan para perkasa untuk mengumbar nafsu jahat mereka, tanpa ada kontrol yang memadai.


Tentu saja ada Pancasila, sumber etika bangsa yang cukup lebar cakupannya. Tetapi ternyata Pancasila hanyalah bendera upacara yang tak boleh dikritik, tapi boleh dilanggar tanpa ada akibat hukumnya. Kemanusiaan yang adil dan beradab, satu sila yang indah dari Pancasila ternyata tak punya kekuatan undang-undang apapun bila dilanggar oleh orang-orang kuasa atau perkasa. Lihatlah kasus pembunuhan terhadap empat petani di Sampang Madura, pembunuhan terhadap Marsinah, Udin, Munir, dan pembunuhan-pembunuh an yang lain lagi.

Para buruh Cengkareng yang mogok dan berjuang untuk memperbaiki kesejahteraan hidupnya, dianiaya dan diharu biru oleh petugas keamanan. Biarpun kasusnya dimenangkan oleh pengadilan, tetapi keputusan pengadilan tak pernah digubris dan dilaksanakan oleh majikan pabrik. Malahan para aktivis buruh diteror oleh para petugas keamanan dan para preman yang dibayar oleh majikan. Rakyat juga tak pernah menang dalam perjuangan mereka untuk melindungi diri dari polusi yang ditimbulkan oleh limbah pabrik. Petugas keamanan selalu memihak kepada kepentingan majikan pabrik.

Sila kemanusiaan yang adil dan beradab, keadilan sosial, dan kedaulatan rakyat, benar-benar tak ada implementasinya di dalam undang-undang pelaksanaan. KUHP yang berlaku adalah warisan dari penjajah Hindia Belanda yang tidak punya dasar etika.

Sungguh ironis, bahwa di dalam negara yang merdeka, karena Kedaulatan Rakyat dan Kedaulatan Hukum diremehkan, maka hukum dan undang-undang justru menjadi sebab merosotnya etika bangsa.

Apabila para ahli hukum terlambat membahas dan memperbaiki kenyataan adanya gap antara ius dan lex, maka “Kalatida” akan berlaku berkepanjangan dan masuklah kita ke alam “Kalabendu”. Ah, gejala-gejala bahkan menujukkan bahwa “Kalabendu” sudah menjadi kenyataan. Inilah zaman kacau nilai, zaman kejahatan menang, penjahat dipuja, orang beragama menjadi algojo, kitab suci dikhianati justru oleh ulama, kekuasaan dan kekayaan diperdewa. Pepatah “mikul dhuwur mendhem jero” sudah lepas dari konteks moralnya dan berganti makna menjadi: kalau anda berkuasa dan perkasa maka berdosa boleh saja!


Hukum, perundang-undangan dan ketatanegaraan yang menghargai daulat manusia, daulat rakyat, daulat akal sehat, dan daulat etika akan menjadi “Mesin Budaya” yang mampu merangsang dan mengakomodasi daya cipta dan daya hidup bangsa, sehingga daya tahan dan daya juang bangsa menjadi tinggi. Jadi sangat penting para ahli hukum segera membahas dan meninjau kembali mutu kegunaan tata hukum dan tata negara Republik Indonesia dalam menyejahterakan kehidupan berbangsa.

Bahkan Dr. Sutanto Supiadi, ahli tata negara dari Surabaya berpendapat, bahwa redesigning konstitusi sangat diperlukan. Kenyataan memang menunjukkan bahwa setiap ada amandemen untuk membatasi kekuasaan presiden, tidak menghasilkan daulat rakyat yang lebih nyata, melainkan hanya menghasilkan daulat partai-partai yang lebih kuat. Bahkan, dalam proklamasi kemerdekaan dan UUD’45 yang asli, wilayah Republik Indonesia itu jelas ditunjukkan. Lalu pada amandemen ke empat, disebutkan munculnya pasal 25a, yang berbunyi: “Negara Kesatuan Republik Indonesia adalah sebuah negara kepulauan yang berciri Nusantara dengan wilayah yang batas-batas dan hak-haknya ditetapkan dengan undang-undang” .

Tidak ada perkataan maritim di dalam rumusan itu. Nama negara pun hanya disebut sebagai Negara Kesatuan Republik Indonesia. Padahal 60% dari negara kita terdiri dari lautan. Jadi lebih tepat kalau nama negara kita adalah Negara Kesatuan Maritim Republik Indonesia.

Negara kita adalah satu-satunya negara di dunia yang memiliki laut. Negara-negara lain hanya mempunyai pantai. Tetapi negara kita mempunyai Laut Natuna, Laut Jawa, Laut Sulawesi, Laut Flores, Laut Banda, Laut Aru, Laut Arafuru, Laut Maluku, Laut Seram, Laut Halmahera, Laut Timor dan Laut Sawu. Namun toh ketatanegaraan kita tetap saja ketatanegaraan negara daratan. Inikah mental petani?

Sampai saat ini kita belum membentuk “Sea and Coast Guard”, padahal ini persyaratan internasional, agar bisa diakui bahwa kita bisa mengamankan laut kita sendiri, maka kita harus mempunyai “Sea and Coast Guard”. Dunia internasional tidak mengakui Polisi Laut dan Angkatan Laut sebagai pengamanan laut di saat damai. Angkatan Laut, Polisi Laut itu dianggap alat perang. Jadi apa sulitnya membentuk “Sea and Coast Guard” yang berguna bagi negara dan bangsa? Apakah ini menyinggung kepentingan rejeki satu golongan? Tetapi kalau memang ada jiwa patriotik yang mengutamakan kepentingan bangsa dan negara, bukankah tak akan kurang akal untuk mencari “win-win solution” ?


Dalam soal perbatasan kita telah melengahkan pemetaan, pendirian beberapa mercusuar lagi, dan mengumumkan klaim yang jelas dan rasional mengenai batas-batas wilayah negara kita, terutama yang menyangkut wilayah di laut. Sudah saatnya pula lembaga intelijen kita mempunyai direktorat maritim.

Sudah saatnya wawasan ketatanegaraan kita, di segenap bidang, mencakup pengertian “Tanah Air”, dan tidak sekedar “Tanah” saja.

Pelabuhan-pelabuhan pun harus segera ditata sebagai “Negara Pelabuhan” yang dipimpin oleh “Syahbandar” yang berijazah internasional. Kemudian segera pula dicatatkan di PBB. Tanpa semua itu, maka negara kita tidak diakui punya pelabuhan, melainkan hanya diakui punya terminal-terminal belaka!

Perlu dicatat bahwa pembentukan Negara Nusantara untuk pertama kalinya diproklamasikan oleh Baron Van Der Capellen pada tahun 1821 dengan nama Nederlans Indie, dan sifat kedaulatannya negara maritim dengan batas-batas dan mercusuar-mercusuar yang jelas petanya.

Jadi Van Der Capellen tidak sekedar mengandalkan kekuatan angkatan laut untuk merpersatukan Nusantara, melainkan, alat politik untuk meyatukan Nusantara adalah tata hukum dan ketatanegaraan maritim.

Kita sebagai bangsa harus bersyukur kepada Perdana Menteri Juanda dan menteri luar negari Mochtar Kusumaatmaja, yang dengan gigih telah memperjuangkan kedaulatan maritim kita di dunia internasional, sehingga diakui oleh Unclos dan PBB. Tetapi kita harus tanpa lengah meneruskan perjuangan itu sehingga kita mampu mengimplementasikan semua peraturan kelautan internasional yang telah kita ratifikasi.


Perlu disayangkan bahwa usaha untuk mendirikan Universitas Maritim yang bisa memberikan ijazah internasional untuk syahbandar dan nakhoda, belum juga mendapatkan izin dari Departemen Pendidikan Nasional. Saya menganggap sikap pemerintah seperti itu tidak patriotik dan tidak peka pada urgensi untuk menegakkan kedaulatan bangsa dan negara di lautan.

Tata hukum, tata kenegaraan dan tata pembangunan yang “sableng” seperti tersebut di atas itulah yang mendorong lahirnya “Kalatida” dan “Kalabendu” di negara kita.

Menurut penyair Ranggawarsita kita harus bersikap waspada, tidak mengkompromikan akal sehat. Dan juga harus sabar dan tawakal. Adapun “Kalasuba” pasti datang bersama dengan Ratu Adil.

Dalam hal ini saya agak berbeda sikap dalam mengantisipasi datangnya “Kalasuba”. Pertama, “Kalasuba” pasti akan tiba karena dalam setiap chaos secara “build-in” ada potensi untuk kestabilan dan keteraturan. Tetapi kestabilan itu belum tentu baik untuk kelangsungan kedaulatan rakyat dan kedaulatan manusia yang sangat penting untuk emansipasi kehidupan manusia secara jasmani, sosial, rohani, intelektual dan budaya. Dalam sejarah kita mengenal kenyataan, bahwa setelah chaos Revolusi Perancis, lahirlah kestabilan pemerintahan Napoleon yang bersifat diktator. Tentu masih banyak lagi contoh semacam itu di tempat lain dan di saat lain.

Kedua, harus ada usaha kita yang lain, tidak sekedar sabar dan tawakal. Tetapi toh kita tidak menghendaki “Kalasuba” yang dikuasai oleh diktator. Tidak pula yang dikuasai oleh kekuasaan asing seperti di Timor Leste. Oleh karena itu kita harus aktif memperkembangkan usaha untuk mendesak perubahan tata pembangunan, tata hukum dan tata kenegaraan sehingga menjadi lebih baik untuk daya hidup dan daya cipta bangsa.

Ketiga, situasi semacam itu tidak tergantung pada hadirnya Ratu Adil, tetapi tergantung pada Hukum yang Adil, Mandiri, dan Terkawal.

Wassalam,

RENDRA
Cipayung Jaya, Depok
Hotel Quality, Jogya
read more "Megatruh Kambuh"

Biar mereka tahu keadaan rakyat rendah senyata-nyata

Jakarta - Syair-syair Rendra bisa dijadikan konsep dasar (basic concept) pengentasan kemiskinan di Indonesia.

“Rendra memang luar biasa, drama ini beliau tulis pada saat masih di bangku SMP, jauh sebelum Dompet Dhuafa lahir, tapi kandungannya masih relevan dengan keadaan saat ini. Bahkan syair-syair Rendra bisa dijadikan basic concept untuk pengentasan kemiskinan di Indonesia,” ungkap Presiden Direktur Dompet Dhuafa, Ismail A. Said, dalam orasi budaya sebelum pementasan drama berjudul Bunga Semerah Darah di Teater Kecil Taman Ismail Marzuki (TIM), Jakarta, belum lama ini.

Bicara tentang keadilan dan harkat martabat kaum dhuafa, Rendra si Burang Merak adalah tokoh yang berada di garis depan memperjuangkan keadilan. Terbukti ketika suara pers dibungkam.

"Rendra bicara lantang lewat syair-syairnya. Rendra juga nyata-nyata banyak mengangkat tema-tema perlawanan terhadap kemiskinan dalam syair-syairnya, perlawanan terhadap kezaliman, dan kesemena-menaan," katanya.

Berikut kutipan salah satu karyanya:

Hal-hal semacam inilah yang akan kutulis. Biar mereka tahu keadaan rakyat rendah senyata-nyata, biar mereka tahu apa sebenarnya yang berada di balik tempat-tempat dansa, apa yang ada di balik rumah-rumah mewah. Akan kutelanjangi dunia ini dari kepalsuan. Kita hidup dalam masyarakat, jadi harus bekerja sama. Dan kalau ada orang yang mau kaya sendiri, kalau ada orang yang mau mewah sendiri, biarlah ia hidup di hutan saja, sebagai orang biadab.

"Mengenang kepulangan Rendra adalah mengenang kepergian seorang pejuang kemanusiaan. Karya dan hidupnya akan menginspirasi banyak orang dan mengajari mereka bagaimana melawan ketakberdayaan dan kedhuafaan," katanya.

Teater Tanah Air pimpinan Yose Rizal Manua memainkan drama berjudul Bunga Semerah Darah yang ditulis dan dipentaskan pertama kali oleh Rendra saat si Burung Merak masih duduk di kelas dua SMP. Pentas ini diadakan dalam peringatan 100 Hari Rendra Berpulang yang diadakan atas kerja sama Teater Tanah Air, Dompet Dhuafa Republika, RRI, TVRI, Djarum On Art, Departemen Komunikasi dan Informasi dan Pusat Kesenian Jakarta--Taman Ismail Marzuki.

(aka/dd)
sumber: http://www.primaironline.com/berita/rileks/biar-mereka-tahu-keadaan-rakyat-rendah-senyata-nyata
read more "Biar mereka tahu keadaan rakyat rendah senyata-nyata"

WS Rendra Ajarkan Putu Wijaya Jangan Menyerah

JAKARTA - Meninggalnya penyair WS Rendra meninggalkan banyak kesan bagi teman-temannya. Salah satunya, Putu Wijaya. Seniman yang satu ini mengaku mendapat lima pelajaran dari Rendra.

"Ada lima hal yang saya dapat dari Rendra," akunya saat tahlilah 7 hari meninggalnya WS Rendra, Kamis (13/8/2009) malam.

Pertama, Rendra mengajarkan dirinya untuk mempertimbangkan tradisi. Kadang, katanya, tradisi ini diterima begitu saja, padahal ada yang tidak perlu.

Kedua, berani melawan. Artinya berani melakukan interpretasi, reposisi dan sebagainya. Ketiga, mengajarkan tidak pernah menyerah. Keempat, dia mengaku selalu diingatkan oleh Rendra, bahwa jika tidak ada sesuatu yang baru di dunia ini, lalu apa artinya kehadiran dia. Kelima, dia mengajarkan untuk kritis.

Bagi Putu, meninggalnya orang besar ditandai dengan kehidupan baru. "Semakin dia pergi, semakin dia hidup di dalam diri kita. Waktu dia ada, ya kita selalu mengandalkan dia," katanya.

Saat ini, dia memikirkan bagaimana anak-anak muda bisa melihat secara langsung karya-karya WS Rendra.

"Banyak anak-anak muda yang belum sempat melihat karya almarhum. Bahkan belum kenal sama sekali, karena dia sudah tidak ada. Saya pikir, bagaimana kita bisa mewariskan Rendra ini sebagai suatu ilmu, jangan sampai kita tuturkan hanya dongeng-dongeng saja," pungkasnya.

(uky)

sumber: http://celebrity.okezone.com/read/2009/08/14/33/248159/ws-rendra-ajarkan-putu-wijaya-jangan-menyerah
read more "WS Rendra Ajarkan Putu Wijaya Jangan Menyerah"

Penghargaan: Karya Sastra Lampung Dapat Rancage

rendra.bp.blogspot.com.jpg
Yayasan Kebudayaan Rancage mulai tahun 2008 ini bakal memberikan hadiah kepada para sastrawan yang menulis dalam bahasa Lampung. Hadiah sastra Rancage yang dimulai tahun 1989 ini, awalnya hanya diberikan kepada sastrawan yang menulis dalam bahasa Sunda.

Penyair WS Rendra turut membacakan puisi dalam peringatan 70 tahun Ajip Rosidi di Graha Sanusi Hardjadinata Universitas Padjadjaran, Bandung, Kamis (31/1). Ajip Rosidi meskipun besar di tatar Sunda, tetap memperhatikan dunia sastra Indonesia dengan memberikan hadiah sastra Rancage yang digelar secara rutin dalam 20 tahun ini. (SP/Adi Marsiela)

"Genap sudah 20 tahun hadiah sastra ini diberikan kepada sastrawan yang menulis dalam bahasa-bahasa ibu," kata Sekretaris Dewan Pengurus Yayasan Kebudayaan Rancage, Hawe Setiawan di sela-sela acara bedah buku otobiografi Ajip Rosidi, Hidup Tanpa Ijazah dalam peringatan 70 tahun sang penulis di Graha Sanusi Hardjadinata Unpad, Bandung, Kamis (31/1).

Menurut Hawe, pengumuman para pemenang hadiah "Rancage" selalu dilakukan pada tanggal 31 Januari setiap tahun, terpisah dengan acara penyerahan hadiahnya.

Ketua Dewan Pembina Yayasan Kebudayaan Rancagé, Ajip Rosidi mengatakan karena keterbatasan dana, maka untuk bahasa Lampung hadiah hanya diberikan untuk karya.

"Mudah-mudahan dalam tahun-tahun yang akan datang, untuk orang atau lembaga yang berjasa dalam melestarikan dan mengembangkan bahasa Lampung juga akan diberikan Hadiah Rancage.

Menurut Hawe, masyarakat Lampung sebenarnya cukup kaya dengan karya sastra berupa adi- adi (pantun), warahan (cerita), hiwang (ratapan berirama), dan sebagainya, kebanyakan berupa sastra lisan, meskipun ada beberapa yang sudah dibukukan. Mereka juga mempunyai huruf sendiri, meskipun sekarang tidak digunakan lagi.

Yang terkemuka ialah Udo Z Karzi (nama péna Zulkarnain Zubairi) yang telah menerbitkan buku Momentum (2002) dan Mak Dawah Mak Dibingi (Tak Siang Tak Malam, 2007). Sajak-sajak Udo Z. Karzi, terangnya, mencerminkan semangat zaman. Diharapkan akan mampu merangsang para sastrawan lain untuk menulis dalam bahasa ibunya, bahasa Lampung.

"Untuk pertama kali Hadiah Sastra Rancage untuk karya ditetapkan untuk diserahkan kepada pengarang kumpulan sajak ini," kata Hawe.

Kepada Udo Z Karzi akan diberikan Hadiah Sastra Rancage 2008 untuk karya berupa piagam dan uang sebesar Rp 5 juta. Dengan penghargaan ini, maka setiap tahun Yayasan Kebudayaan Rancagé harus mengeluarkan lebih dari 6 hadiah untuk empat bahasa ibu, yaitu Bali, Jawa, Lampung, dan Sunda. Di samping itu, kadang-kadang memberikan Hadiah "Samsudi" buat pengarang yang menerbitkan buku bacaan anak-anak unggulan dalam bahasa Sunda.

Mulai tahun 2008 ini juga, Rancage menggelar penghargaan baru, berupa Hadiah Hardjapamekas, untuk guru bahasa Sunda di tingkat SD, SMP dan SMA. Upacara penyerahan Hadiah Sastra Rancagé dan Hadiah Samsudi rencananya bakal dilaksanakan melalui kerjasama Yayasan Kebudayaan Rancagé dengan Universitas Padjadjaran pada bulan Mei 2008 di kampus universitas tersebut.

Tiga Kali Rancage

Hadiah sastra Rancage untuk Sastra Sunda diberikan kepada roman karya Godi Suwarna, Sandekala. Dengan hadiah ini, Godi menjadi tiga kali memperoléh Hadiah Rancage, semuanya untuk karya, yaitu tahun 1993 untuk kumpulan sajaknya Blues Kere Lauk dan tahun 1996 untuk kumpulan cerita pendeknya Serat Sarwasatwa.

Sementara Hadiah Rancagé 2008 untuk jasa karena telah melakukan usaha memelihara dan melestarikan bahasa Sunda diberikan kepada pimpinan grup Teater Sunda Kiwari, R Dadi Danusubrata. Sementara untuk hadiah Samsudi 2008, diberikan kepada Ai Koraliati yang menulis buku bacaan anak-anak dalam bahasa Sunda, Catetan Poean Rere.

Untuk kategori Sastra Jawa, kumpulan sajak berjudul Bledheg Segara Kidul karya Turiyo Ragilputra menjadi yang terpilih. Karya Turiyo, yang diterbitkan Gema Grafika, Yogyakarta itu menggambarkan sikap dan perhatian penyair kepada kebudayaan, bangsa, dan kawan-kawannya.

Menurut Ajip, gagasan yang kompleks dari penyair mampu diungkapkan dengan pilihan kata yang khas Jawa. Secara keseluruhan, karya itu dianggap dinamis, utuh, dan total.

"Untuk jasa dalam pengembangan bahasa dan sastra Jawa, Hadiah Sastra Rancage 2008 ditetapkan untuk dihaturkan kepada Sriyono, redaktur majalah Jawa Jaya Baya sejak 1979," katanya.

Selepas menjadi wartawan Indonesian Daily News (IDN), Jawa Pos, Sriyono menulis di Jaya Baya lewat Roman Secuwil yang menjadi tempat latihan para pengarang muda pemula menulis dalam bahasa Jawa. "Sriyono akan dihaturkan Hadiah Sastra "Rancage" 2008 untuk jasa berupa piagam dan uang Rp 5 juta," kata Hawe.

Bagi karya sastra dalam bahasa Bali, dia menjelaskan, selama tahun 2007 hanya terbit 5 judul buku. Jumlah ini jauh lebih sedikit dari tahun-tahun sebelumnya yang bisa mencapai belasan judul.

Menurut Hawe, meskipun secara kualitatif menurun, namun dibandingkan dengan tahun-tahun sebelumnya karya-karya terbitan tahun 2007 menunjukkan pengungkapan dan pengucapan baru tanda kreativitas jalan terus. Antaranya nampak pada pencarian dan pencapaian estetika bunyi yang terdapat pada puisi dan estetika bentuk yang tampak pada prosa.

Untuk tahun ini, hadiah itu diberikan kepada Tiang Bajang Kayang-kayang, karya I Nyoman Manda. Sastrawan yang terpilih untuk menerima Hadiah Sastra Rancagé 2008 untuk jasa ialah I Madé Suatjana, yang menemukan program penulisan aksara Bali yang disebut Bali Simbar dan bisa diaplikasi léwat program Microsoft Word.

Program Bali Simbar mulai dirancang tahun 1986 dengan menggunakan program Chi-writer dengan melakukan modifikasi font sehingga aksara Bali bisa diketik léwat komputer.

Temuan Bali Simbar itu pertama kali disosialisasikan tahun 1989 dalam ajang pameran Pesta Kesenian Bali di Denpasar. Tahun 1993, Yayasan Sabha Sastra Bali yang bergerak dalam pembinaan bahasa dan sastra Bali modern mulai menggunakan temuan Made Suatjana untuk mengetik naskah buku pelajaran tingkat SMP.

Mulai tahun 1999 program Bali Simbar dipakai di Percetakan Bali untuk mengetik buku sastra dan buku pelajaan beraksara Bali. Tahun 2001, Made menciptakan program transliterasi huruf Latin ke aksara Bali, untuk mengembangkan program terkait.

"Kepada I Made Suatjana akan dihaturkeun Hadiah Rancage untuk jasa berupa piagam dan uang Rp 5 juta," kata Hawe. [153]

Sumber: Suara Pembaruan, Jumat, 1 Februari 2008
read more "Penghargaan: Karya Sastra Lampung Dapat Rancage"

Ken Zuraida: Aku cinta padamu

rendra13.www.poskota.co.id
"Biar mereka tahu keadaan rakyat rendah senyata-nyata"
Hari Lahir Rendra jadi Hari Kebudayaan Nusantara
Rendra tidak pernah memandang masyarakat secara basa-basi

Depok - Ken Zuraida, istri seniman WS Rendra melepas jenazah suaminya sambil mengungkapkan perasaan cintanya kepada seniman yang dikenal dengan sebutan Burung Merak.

"Saya tidak patut menjadi guru di bengkel Teater. Sebagai istri saya kurang bekti (Berbakti). Aku cinta padamu," kata Ken yang terlihat terbata ketika diminta tampil untuk berbicara pada acara pelepasan jenazah almrhum WS Rendra sebelum disholatkan di Bengkel Teater, Citayam, Jumat (7/8).

Ken mengungkapkan dirinya merupakan asisten, murid, musuh, teman, pembantu dari seniman pendiri teater Indonesia, WS Rendra.

"Saya ingin mengajak putra-putri Bengkel Teater untuk melepas almarhum dengan lagu singgah-singgah," katanya.

Beberapa anggota Bengkel Teater kemudian berdiri dan menyanyikan lagu singgah-singgah yang berlirik bahasa Jawa Halus.

Para pelayat termasuk Putu Wijaya, budayawan Mudji Sutrisno, pelawak Tarzan, pimpinan RRI Parni Hadi dan Menbudpar Jero Wacik tertunduk dan terhanyut haru mendengarkan istri almarhum dan para personil Bengkel Teater menyanyikan lagu tersebut.

Sementara itu, dari kalangan artis tampak melayat antara lain Virgiawan Listianto atau yang lebih dikenal dengan Iwan Fals, dan Deddy Mizwar, dan lainnya.

Karangan bunga duka citapun menghiasi tempat Bengkel teater tersebut, seperti dari Dirut Lembaga Penyiaran Publik (LPP) Parni Hadi, Keluarga Teater Alam Yogya, Menteri Kebudayaan dan Pariwisata Jero Wacik, artis Connie Constantia, Forum Harmoni Nusantara, Jenderal (Purn) TNI Wiranto, dan Surabaya Community Sedhuluran Sampek Matek.

Tokoh pendidik, Arif Rahman kemudian memimpin doa untuk melepas kepergian almarhum WS Rendra, sebelum dibawa ke masjid di sebelah Bengkel Teater untuk disholatkan.

Sumber: Rendra (Portaltiga/Primair) / (feb/ant)
read more "Ken Zuraida: Aku cinta padamu"

In Memoriam WS Rendra

harispriyatna.wordpress.com
Penyair besar itu pergi meninggalkan kita dengan sejuta gundah gulana: adakah lagi penjaga hati nurani?

Meski aku tak banyak kenal dan hafal puisi-puisi Rendra, tapi aku tahu dia orang hebat yang pantas aku kagumi dan teladani. Aku pertama mengenal Rendra dari buku pelajaran bahasa dan sastra untuk SMA, tapi buku itu bukan buku pelajaran yang kami pakai di sekolah. Itu buku bekas kakakku atau entah warisan dari siapa. Dari puisi Rendra yang aku baca di sana, aku merasakan ada getaran dan keindahan.

Rendra aku kenali lebih dalam melalui kelompok musik Kantata Takwa. Aku menyukai kelompok ini karena pentolannya adalah idolaku: Iwan Fals. Banyak lagu Kantata Takwa yang berasal dari puisi Rendra. Yang paling penting adalah Kesaksian. Lagu ini begitu menggetarkan dan menggugah nurani. Semacam kredo untuk para pembela kebenaran dan keadilan. Lagu itu berisi pernyataan keberpihakan kepada rakyat kecil dan penentangan kepada penguasa yang lalim.

Lagu lainnya adalah Paman Doblang dan Rajawali. Dalam lagu Paman Doblang ada bait puisi Rendra yang sangat terkenal:

Kesadaran adalah matahari

Kesabaran adalah bumi

Keberanian menjadi cakrawala

Dan perjuangan adalah pelaksanaan kata-kata.

Ketika aku kuliah di Unpad, aku pernah menyaksikan Rendra membaca puisi langsung dari dekat. Saat itu, Rendra diundang oleh Fakultas Sastra Unpad untuk membacakan puisi. Rendra membacakan puisi-puisinya di pelataran kampus Fakultas Sastra. Yang aku ingat dari puisi yang dia baca adalah kalimat, “Ada tokek … ada tokek ….” Lantas ada juga puisi yang kata-katanya “Kacoa, ka-co-a ….” Kalau tidak salah itu dari kumpulan puisi Orang-Orang Rangkasbitung.

Setelah itu, aku pergi ke Mesjid Ibnu Sina di kampus Unpad untuk melaksanakan shalat Jumat. Alangkah senangnya aku, ternyata di dalam mesjid, aku duduk persis di belakang Rendra. Aku bertambah kagum kepadanya, dengan rambutnya yang gondrong dan keliarannya pada masa lalu, ternyata kini dia betul-betul taubat. Suka beribadah kepada Allah.

Dan sebagaimana dikabarkan pada hari kematiannya, hidup Rendra memang khusnul khatimah: dia meninggal dengan bahagia dan rasa cinta kepada Allah.

Puisi terakhirnya menunjukkan semua itu:
Aku lemas
Tapi berdaya
Aku tidak sambat rasa sakit
atau gatal

Aku pengin makan tajin
Aku tidak pernah sesak nafas
Tapi tubuhku tidak memuaskan
untuk punya posisi yang ideal dan wajar

Aku pengin membersihkan tubuhku
dari racun kimiawi

Aku ingin kembali pada jalan alam
Aku ingin meningkatkan pengabdian
kepada Allah

Tuhan, aku cinta padamu

Rendra
31 July 2009
Mitra Keluarga

Sumber: http://harispriyatna.wordpress.com/2009/10/06/in-memoriam-ws-rendra
read more "In Memoriam WS Rendra"

Willibrordus Surendra Broto Rendra (WS Rendra) : air zamzam pun rasanya seperti Minuman Chevas Regal


Meskipun sudah menjadi orang Islam, tetapi saya masih suka meminum minuman keras. Seenaknya saja saya katakan bahwa tidak ada masalah dengan hal itu. Waktu itu, saya selalu katakan, kalau saya membaca bismillahirrahmanirrahim, maka minuman keras menjadi air.

Saya memang telah memilih jalan hidup saya sebagai seniman. Sejak muda, saya telah malang-melintang di dunia teater. Bahkan, kemudian saya dikenal-sebagai "dedengkot" Bengkel Teater sewaktu masih tinggal di Yogyakarta. Melalui Bengkel Teater inilah saya telah mendapatkan segalanya: popularitas, istri, dan juga materi. Bahkan tidak tanggung-tanggung, dalam kemiskinan sebagai seniman pada waktu itu, saya dapat memboyong seorang putri Keraton Prabuningratan, BRA Sitoresmi Prabuningrat, yang kemudian menjadi istri saya yang kedua.

Tetapi justru, melalui perkawinan dengan putri keraton inilah, akhirnya saya menyatakan diri sebagai seorang muslim. Sebelumnya saya beragama Katolik. Meskipun dalam rentang waktu yang cukup panjang - setelah memperoleh 4 orang anak - perkawinan saya kandas. Tetapi, keyakinan saya sebagai seorang muslim tetap terjaga.

Bahkan, setelah perkawinan dengan istri yang ketiga, Ken Zuraida, saya semakin rajin beribadah dan mendekatkan diri kepada Allah SWT. Dan bukan suatu kebetulan, jika saya kemudian bergabung bersama Setiawan Djodi dan Iwan Falls dalam grup Swami dan Kantata Takwa.

Bagi saya, puisi bukan hanya sekadar ungkapan perasaan seorang seniman. Tetapi lebih dari itu, puisi merupakan sikap perlawanan saya kepada setiap bentuk kezaliman dan ketidakadilan. Dan, itulah manifestasi dari amar ma'ruf nahi munkar seperti yang selalu diperintahkan Allah di dalam Al-Qur'an.

Sebagai penyair, saya berusaha konsisten dengan sikap saya. Bagi saga, menjadi penyair pada hakikatnya menjadi cermin hati nurani dan kemanusiaan. Penyair itu bukan buku yang dapat dibakar atau dilarang, bukan juga benteng yang bisa dihancur leburkan. Ia adalah hati nurani yang tidak dapat disamaratakan dengan tanah. Mereka memang dapat dikalahkan, tetapi tidak dapat disamaratakan dengan tanah begitu saja.


Pergi Haji

Ketika naik haji, apa saja yang saya tenggak terasa seperti minuman keras merek Chevas Regal. Minum di sini, minum di sana, rasanya seperti minuman keras. Bahkan, air zamzam pun rasanya seperti Chevas Regal, sampai saya bersendawa, seperti orang yang selesai meminum minuman keras.

Lirih, saya memohon. "Aduh, ya Allah, saya ini sudah memohon ampun. Ampun, ampun, ampun, ya Allah." Saya betul-betul merasa takut, kecut, malu, dan juga marah, sehingga saya ingin berteriak, "Bagaimana, sih? Apa maksud-Mu? Jangan permalukan saya, dong!" Saya baru merasakan air lagi dalam penerbangan dari Jedah ke Amsterdam. Alhamdulillah! Saya betul-betul bersyukur. Setelah ini, saya tidak akan meminum minuman keras lagi.

sumber: http://styagreennotes.blogspot.com/2010/12/saya-murtad-selama-36-tahun.html
read more "Willibrordus Surendra Broto Rendra (WS Rendra) : air zamzam pun rasanya seperti Minuman Chevas Regal"

Agent of Change


sumber: http://www.poskota.co.id
Rendra adalah seniman sekaligus guru yang berhasil mengkader sejumlah seniman.

PADA ulang tahun Rendra yang ke-70, yang diperingati di Graha Bhakti Budaya, Taman Ismail Marzuki, 2005 lalu, sejumlah seniman tampil ke panggung menyampaikan pendapat. Di antaranya Putu Wijaya dan N. Riantiarno. Rendara, kata mereka, adalah seniman yang menempati posisi khusus. Posisinya itu tidak menggantikan dan tidak tergantikan oleh siapapun. Rendra tidak menjiplak gurunya, dan tidak sama dengan murid-muridnya.
Posisi istimewanya itu, tercipta karena menurut penilaian para kririkus seni, Rendra adalah seniman yang menggeluti banyak bidang, dan pergulatannya berhasil mencapai puncak-puncak estetik di dalam peta kesenian Nusantara. Rendra memang seniman generalis.
Rendra adalah penulis dan pembaca puisi yang menggetarkan, penulis naskah drama, penyadur, sutradara sekaligus aktor yang menggemaskan. Ia pernah main film beberapa judul, kemudian ditinggalkannya. Beberapa cerpen pernah ditulisnya. Ia menulis esai budaya, dan pernah menjadi wartawan untuk media yang dipimpin PK Ojong.
Sebagai penyair, Rendra mewarnai perpuisian di Tanah Air melalui sajak-sajak balada. Namun pada dekade 70-an, puisi-puisi Rendra berubah total dari nuansa balada menjadi sajak pamflet yang lantang menggugat. Sajak-sajak pamflet Rendra sangat khas, dan tidak ada penyair yang menulis puisi pamflet dengan kekuatan seperti pamflet yang ditulis Rendra. Kekuatan Rendra dalam sajak pamflet bukan dalam penulisannya saja, tapi juga dalam membacakannya di atas panggung. Adalah Rendra yang disebut-sebut para kritikus sebagai orang yang memperkenalkan teknik poetry reading. Menurut Emha Ainun Najib, penyair yang sekaligus memiliki daya sihir saat membacakan puisinya adalah Rendra dan Sutardji Calzoum Bachri.
Rendra juga disebut sebagai salah seorang mbah teater modern di Tanah Air. Dosen Sekolah Tinggi Seni Indonesia (STSI) Bandung Yoyo C. Durachman, menyebut ada enam grup teater modern yang mewarnai jagad teater di Indonesia, yaitu Bengkel Teater (Rendra, alm), Teater Populer (Teguh Karya, alm), Studiklub Teater Bandung (Suyatna Anirun, alm), Teater Ketjil (Arifin C. Noer, alm), Teater Mandiri (Putu Wijaya), dan Teater Koma (N. Riantiarno).
Namun Rendra ditahbiskan bukan sekadar mbah, tapi juga pelopor teater modern. Kepeloporannya terletak pada upaya membumikan teater Barat. Sebagai misal, tokoh Hamlet dalam lakon Shakespeare, ketika dipentaskan oleh Rendra diganti menjadi Hamlet orang Jawa.
Multi kreativitas itu diperoleh karena Rendra menerima pengetahuan dari banyak guru. Sejak usia dini, ia sudah diajari membaca puisi dan pidato oleh inangnya, juga oleh ayahnya yang guru Bahasa. Sewaktu kuliah Jurusan Sastra Inggris di UGM (tidak tamat), ia adalah juniornya Umar Kayam di grup teater. Rendra menempatkan Umar Kayam sebagai sang guru.
Pada 1964-1967, Rendra pergi ke Amerika untuk belajar drama di American Academy of Dramatical Art, New York. Rendra juga memperdalam ilmu meditasi yang ia kembangkan dari warisan Mas Sujono (Sultan Hamengkubuwono I). Selain mempelajari teori kesenian Barat yang rasionalistik, Rendra juga menggali teori-teori kesenian dari India. Konsepsi keindahan yang dituangkan Rendra berasal dari India. Kunci keindahan menurut Rendra harus bersifat ahimsa (tanpa kekerasan), aparigraha (tanpa pamrih), dan anekanta (beragam). Rendra juga mempelajari silat Bangau Putih dari Subur Rahardja. Dalam melakoni hidup, Rendra mengaku selalu membutuhkan seseorang guru yang bisa menyampaikan kritik dan mengingatkan.
Pada akhirnya, Rendra juga menjadi seorang guru dengan melahirkan sejumlah seniman pesohor di Tanah Air, atau setidaknya menjadi creative partner. Almarhum Arifin C Noer, masih tinggal di Cirebon ketika mengawali berteater. Ia kemudian menerima surat dari Rendra untuk bergabung ke dalam grup teater yang hendak dibentuknya. Arifin pun memenuhi undangan Rendra, berangkat ke Yogya, dan mereka pun berteman. Mereka mementaskan lakon Menunggu Godot yang disadur dari karya William Bulter Yeats.
Arifin menyampaikan kesan, Rendra adalah seorang yang kalau makan saja nampak begitu menghayatinya, menikmati setiap suapan yang dilakukannya. Apalagi dalam berkesenian.
Sekira tahun 1964, grup itu bubar karena Rendra pergi ke Amerika untuk sekolah drama. Sepulang dari Amerika, pada bulan Oktober 1967, Rendra mendirikan Bengkel Teater Yogya. Bengkel Teater kemudian pindah ke Jakarta, dan Rendra bermarkas di kawasan Grogol. Awal dekade 1990, Bengkel Teater dipindahkan ke Citayam, Depok, dan namanya menjadi Bengkel Teater Rendra.
Bengkel Teater didirikan dengan tujuan menjadi agent of change (agen perkembangan) untuk membantu pembangunan masyarakat. Rendra tidak bermaksud mencetak seniman belaka, tetapi menjadi seniman plus yang sanggup menjadi inspirasi bagi masyarakat sekitarnya.
Beberapa pesohor yang pernah bergabung dengan Bengkel Teater dari waktu ke waktu, ada di antaranya yang mengakui Rendra sebagai guru, antara lain Adi Kurdi (aktor dan sutradara), Dedy Sutomo (aktor film), Putu Wijaya (Teater Mandiri), Emha Ainun Najib (budayawan), Syu’bah Asa (kritikus seni), Ratna Sarumpaet (Teater Satu Merah Panggung), Sawung Jabo (musisi), Jose Rizal Manua (Teater Tanah Airku), Edi Haryono (Bela Studio), Sitok Srangenge (penyair),Radhar Panca Dahana (penyair, aktor, esais).
Di Bengkel Teater, murid-murid yang nyantrik bukan hanya belajar kesenian. Sebagaimana tujuannya untuk menciptakan agent of change, metode pendidikan yang dirancang Rendra dalam silabus, lebih merupakan usaha untuk membangun karakter individual dan mengembangkan mutu sumber daya manusia.
Di Bengkel Teater, setiap murid akan dipelajari karakteristiknya melalui gerak naluri. Rendra akan menyarankan sebaiknya Anda mendalami bidang ini, atau itu, setelah narulinya dibaca. Bukan hanya spiritual yang dipelajari, tetapi juga pembangunan fisik. Selain latihan silat, Rendra mengembangkan teknik-teknik untuk meningkatkan flastisitas tubuh dan energi. Menurut Rendra, sumber energi manusia berasal dari colon (usus besar), karena itu, setiap makan harus dicerna dengan baik supaya colon bekerja secara efektif. Sumber energi yang lain adalah nafas dan fisik, karena itu di Bengkel diajarkan pernafasan dan silat. Sumber energi paling baik berasal dari Tuhan, ini bersangkut dengan yang namanya kharisma dan spiritual. Karena itu, setiap murid Rendra harus menjalankan perintah agama, dan menjauhi pantangan yang datang dari agama.
Rendra mengajari orang untuk bisa hidup melalui kesenian, dan bukan semata untuk berkesenian. Hal itu terungkap juga dalam butir-butir Prasetya Bengkel Teater Rendra yang dibacakan saat murid dilantik menjadi anggota penuh Bengkel, di antaranya bahwa: Aku ini milik Tuhan dan hanya mengabdi kepada Tuhan. Aku setia pada jalannya alam. Aku setia pada hati nuraniku. Aku tidak akan berlebih, segala yang berlebih akan kukembalikan kepada Tuhan melalui jalannya alam dan kebudayaan. [doddi ahmad fauji]

Sumber: gugahjanari.blogspot.com
read more "Agent of Change"

Megatruh

http://mypotret.wordpress.com/2009/01/31/
suatu-sore-di-padepokan-rendra/#more-2313
Ya. Inilah judul pidato kebudayaan saya malam ini. Megatruh. Megat-ruh. Megat artinya memutus. Jadi: megatruh adalah memutus ruh. Suasana dukacita yang mendalam. Bukan suasana perasaan semata, tetapi suasana ruh yang putus dan berada dalam alam kelam. Mengapa begitu?

O, AKAL SEHAT JAMAN INI !
BAGAIMANA MESTI KUSEBUT KAMU ?
KALAU LELAKI KENAPA SEPERTI KUWE LAPIS ?
KALAU PEREMPUAN KENAPA TIDAK KEIBUAN ?
DAN KALAU BANCI KENAPA TIDAK PUNYA KEULETAN ?
AKU MENAHAN AIR MATA
PUNGGUNGKU DINGIN
TETAPI AKU MESTI MELAWAN
KARENA AKU MENOLAK BERSEKUTU DENGAN KAMU !
KENAPA ANARKI JALANAN
MESTI DITINDAS DENGAN ANARKI KEKUASAAN ?
APAKAH HUKUM TINGGAL MENJADI SYAIR LAGU DISCO ?
TANPA PANCAINDRA UNTUK FAKTA
TANPA KESADARAN UNTUK JIWA
TANPA JENDELA UNTUK CINTA KASIH
SAYUR MAYURLAH KAMU
DIBIUS PUPUK DAN INSEKTISIDA
KAMU HANYA BERMINAT MENGGEMUKKAN BADAN
TIDAK MAMPU BERGERAK MENGHAYATI CAKRAWALA
TERKESIMA
TERBENGONG
TERHIBA-HIBA
BERAKHIR MENJADI HIDANGAN PARA RAKSASA
O, AKAL SEHAT JAMAN INI
KERNA MENOLAK MENJADI EDAN
AKU MELAWAN KAMU !

****

Para hadirin yang terhormat, …
Perkenankanlah saya mengulang apa yang sudah saya ucapkan dalam beberapa wawancara dengan pers. Adalah kodrat manusia bahwa ia mengandung Daulat Alam dan Daulat Manusia di dalam dirinya. Kebudayaan yang kita warisi dari leluhur banyak merenungkan dan menghayati Daulat Alam di dalam kehidupan: kelahiran, kematian, perjodohan, nasib rezeki, penghayatan pancaindra, penghayatan badan dan penghayatan alam semesta.

Tetapi merenungkan Daulat Manusia tidak pernah tuntas. Daulat manusia terbatas sekali oleh sifat alam dalam dirinya. Terutama sekali terbatas oleh kelahirannya. Kalau lahir sebagai orang bawah, sebagai orang miskin, sebagai orang tanpa pendidikan, atau sebagai orang perempuan, sukar untuk meningkat keatas, karena tatanan masyarakat diatur seperti tatanan didalam alam: yang tikus tetap tikus, yang kucing tetap kucing, yang kambing tetap kambing, yang macan tetap macan. Hanya para jagoan saja yang bisa menerobos tatanan masyarakat yang seperti itu. Misalnya Ken Arok, si anak jadah dan kriminal jalanan yang akhirnya bisa menjadi raja itu; atau Gajah Mada, tukang pukul yang akhirnya bisa menjadi mahapatih; atau Untung Surapati, seorang hamba sahaya yang bisa meningkat menjadi pahlawan atau jagoan; atau Ir. Soekarno, seorang anak guru yang bisa menjadi Presiden Indonesia yang pertama; atau orang-orang melarat yang bisa menjadi konglomerat. Oh ya, akhirnya banyak juga jagoan-jagoan dalam berbagai bidang bisa muncul. Tetapi kejagoannyalah yang membuat ia mampu mendobrak tatanan hidup yang resmi, yang sebenarnya tidak banyak memberi hak kepada khalayak banyak untuk memperkembangkan Daulat Manusia mereka.

Para pemimpin bangsa kita, dari sejak zaman raja-raja dahulu kala, memang tidak pernah menaruh perhatian kepada pengembangan Daulat Manusia pada umumnya. Saat Aristoteles, filsuf Yunani (384-322 SM) menulis buku “Politica”, menerangkan hak rakyat untuk memilih pemimpin bangsanya, dan tidak membenarkan adanya tirani kekuasaan, para pemimpin bangsa kita masih hidup dalam kegelapan sejarah dan jelas tidak berminat pada filsafat. Dan pada waktu Raja John dari Inggris mengesahkan Undang-Undang yang disebut orang sebagai Magna Carta, yaitu tahun 1215, raja mengakui kejelasan hak-hak bangsawan bawahannya dan juga hak-hak rakyat yang harus ia hormati dan tak mungkin ia langgar.

Jawa pada saat itu berada dalam pemerintahan Tunggul Ametung yang sebentar lagi akan digantikan oleh Ken Arok. Kedua penguasa dari Jawa itu tak pernah memikirkan atau mengakui UU apapun. Sabda raja itulah UU bagi rakyat. Sebagaimana dalam alam bahwa yang kuat itu yang menang. Maka tatanan masyarakat leluhur kita itupun berlandaskan kenyataan bahwa yang kuat itu yang benar (might is right). Dan yang terkuat dalam di dalam masyarakat tentunya raja. Jadi sabda raja (dekrit raja atau Kepraj, yaitu keputusan raja) yang menjadi sumber kebenaran.

Tentu saja seorang raja Jawa tidak diperkenankan untuk sewenang-wenang. Ia diharapkan untuk Ambeg Paramarta serta menghayati Hasta Brata. Tetapi bila ternyata raja tidak memenuhi harapan itu, dan kejam seperti Amangkurat Tegalarum atau menjijikkan seperti Amangkurat II, ya tidak ada sanksi apa-apa sebab ia kuat, ia raja.

****

Selanjutnya pada 1295 Raja Edward dari Inggris memperbaiki hak-hak parlemen. Dia mengatakan bahwa hanya parlemen yang bisa mengubah hukum. Hal ini bersamaan dengan saat akhir pemerintahan Kertanegara dari Singasari dan munculnya Majapahit dibawah pimpinan Raden Wijaya. Kedua penguasa itu, boro-boro punya parlemen, punya kitab UU sebagai landasan pemerintahannya pun tidak. Sabda raja tetap unggul di atas segala-galanya. Hal itu bukan pertanda kebudayaan bangsa kita rendah. Lihatlah candi-candi yang indah, seni membuat keris, syair-syair dari Empu Kanwa, Empu Sedah, Empu Panuluh. Raffles mengagumi karya sastra leluhur kita. Waktu pulang ke Inggris, setelah selesai tugasnya di Jawa, ia membawa 30 ton benda sastra dan seni dari Jawa. Kemudian dengan rasa kagum ia laporkan dan dikupas dalam bukunya “The History of Java”. Tetapi didalam kebudayaan Jawa yang tinggi itu, para pujangga dan para rajanya ternyata tak pernah sadar akan perlunya hak-hak konstitusional bagi rakyatnya, yang dilindungi oleh pelaksanaan UU yang berlaku.

Di zaman pemerintahan Hayam Wuruk, menurut buku Negarakertagama yang ditulis oleh Empu Prapanca, pada pupuh 73 digambarkan bahwa Hayam Wuruk bersifat adil dalam melaksanakan UU Agama, yang sebenarnya dituliskan dalam kitab yang berjudul Kutara Manawadharmasastra. Bahkan Demung Sora, seorang menterinya dihukum mati karena telah membunuh Mahisa Anabrang yang tak berdosa. Dengan begitu Demung Sora telah melanggar pasal Astadusta dari Kitab UU Kutara Manawadharmasastra itu. Namun begitu, tidak tercantum di dalam Kitab UU itu hak rakyat untuk punya perwakilan dan ikut menentukan jalannya pemerintahan. Sementara itu di Inggris pada 1649 Raja Charles I dihukum pancung karena dianggap melecehkan parlemen, dan untuk sementara Lord Cromwell diangkat menjadi pelindung parlemen dengan gelar Lord Protector pada 1653.

Itulah tahun-tahun berkuasanya Amangkurat I yang kejam, yang sibuk membina kekuasaan yang absolut dan pemerintahan yang ketat dan memusat, yang membuat kehidupan masyarakat menjadi sumpek dan akhirnya dibenci oleh rakyat. Dan waktu John Locke, filsuf dan sastrawan Inggris menulis dua esai tentang pemerintahan yang ideal, yang menghormati hak milik warganegara dan berkewajiban melindungi segala milik warganegara itu, di Mataram berkuasa Amangkurat iI yang memerintah di Karta Sura dengan sewenang-wenang, sombong, kekanak-kanakan, pengecut dan keras kepala.

Ia telah membunuh bapaknya Amangkurat I yang tengah sekarat di Tegalarum. Lalu mengkhianati sahabatnya Trunojoyo. Menggadaikan Semarang kepada VOC. Dan menyewakan tebang hutan dari beberapa wilayah kepada para cukong. Lalu para cukong menjual kayunya atau hak tebang hutannya pada VOC. (Saya teringat pada sistem HPH dewasa ini. Ternyata pelopornya adalah Amangkurat II dengan asprinya yang bernama Adipati Suranata).

Ya, Amangkurat II inilah pelopor kebangkrutan Mataram, yang sebenarnya memang sudah salah membangun sejak rajanya yang pertama yaitu Panembahan Senopati. Sebab raja-raja pendahulu Dinasti Mataram ini salah mengira bahwa stabilitas negara itu adalah pemusatan kekuasaan.

Tetapi di Inggris, sejak zaman Ken Arok, Kertanegara atau Raden Wijaya, para penguasanya atau raja-rajanya mau mengakui daulat hukum disamping daulat raja, bahkan pada akhirnya, sejajar dengan zaman Majapahit, raja Inggris mau mengakui adanya daulat rakyat, ternyata negaranya terus stabil. Bukan berarti tanpa pergolakan.

Wah, justru banyak pergolakan politik di sana. Tetapi kepastian hidup rakyat makin lama makin stabil. Dan ternyata dinasti raja-raja mereka tetap lestari bergengsi sampai zaman ini, sehingga negaranya bisa maju. Sebab kemajuan negara itu tidak mungkin diciptakan penguasa. Paling jauh penguasa itu hanya bisa menyeret bangsanya maju setahap saja, tetapi perkembangan bertahap-tahap seperti di Inggris (dari tahap pertanian ke tahap filsafat, perdagangan, ilmu pengetahuan, teknologi modern, industri dan kebudayaan cybernetic) hanyalah bisa dicapai dengan kemampuan rakyat yang selalu maju berkat dukungan daulat rakyat, yang dilindungi oleh daulat hukum. Tidak ada contohnya dalam sejarah dunia bahwa pemerintahan yang totaliter bisa memajukan bangsa dalam tahap-tahap perkembangan budaya. Di kala dipimpin oleh pemerintah yang totaliter, meskipun sudah mencapai teknologi tinggi, seperti Jepang, Korea dan Jerman, rupanya budaya filsafat, sosial dan ekonomi macet. Baru setelah daulat hukum dan daulat rakyat berlaku, maka ketiga negara itu bisa melewati berbagai tahap budaya dengan pesat, hingga kini harus diperhitungkan sebagai kekuatan yang ikut menentukan perkembangan budaya dunia.

Sebaliknya para raja Mataram yang maniak akan sentralisasi kekuasaan itu, tidak pernah bisa membawa kemajuan kepada rakyat Jawa. Dipandang dari segi kepentingan rakyat, raja-raja Mataram adalah raja-raja yang gagal. Tidak ada kharisma mereka, sehingga gagal menyatukan Jawa.

* * * *

Sebelum ada Mataram, menurut laporan orang Portugis Jono de Barros, orang Jawa itu angkuh, berani, berbahaya dan pendendam. Kalau tersinggung perasaannya sedikit saja, terutama kalau disentuh kepala atau dahinya, terus mengamuk membalas dendam. Seorang Portugis yang lain, Diego de Couto melaporkan bahwa ia mengagumi kecakapan berlayar orang-orang Jawa, bahasa Jawa yang selalu berkembang dan punya aksara sendiri, namun mereka begitu angkuh sehingga menganggap bangsa lain lebih rendah. Maka kalau orang Jawa lewat di jalan, dan melihat ada orang bangsa lain yang berdiri di onggokan tanah atau suatu tempat lain yang tinggi dari tanah tempat ia berjalan, apabila orang itu tidak segera turun dari tempat semacam itu, maka ia akan dibunuh oleh orang Jawa itu. Sebab ia tidak akan memperkenankan orang lain berdiri ditempat yang lebih tinggi. Juga orang Jawa tak akan mau menyunggi beban di atas kepalanya, biarpun ia diancam dengan ancaman maut.

Mereka adalah pemberani dan penuh keyakinan diri dan hanya karena penghinaan kecil saja bisa melakukan amuk untuk balas dendam. Dan meskipun ia telah ditusuk-tusuk dengan tombak sampai tembus, mereka akan terus merangsek maju sehingga dekat kepada lawannya. Bagaimanapun ekstremnya gambaran itu, pada intinya orang-orang Jawa itu terlihat tangkas, berani, berstamina, dan percaya pada diri secara luar biasa. Dan nyatanya di zaman kerajaan Demak dan Banten, saat kedua laporan itu ditulis, orang-orang Jawa menguasai setiap jengkal dari tanahnya. Tak ada kekuatan asing yang bisa melecehkan kedaulatan tanah air mereka. Banten dan Demak bebas dari kekuasaan asing. Semarang dan Jepara menjadi tempat galangan kapal yang memprodusir kapal-kapal besar dan kecil dalam produktivitas yang tinggi. Arsitektur mengalami perkembangan yang besar. Atap Limasan, gandok, pringgitan dan pendopo joglo yang lebih besar diciptakan (sebelumnya pendopo itu kecil seperti gazebo). Orkestrasi gamelan berkembang karena diciptakannya gambang penerus, bonang penerus dsb. Variasi kendang-kendangpun bertambah. Lalu tembang-tembang Mocopat muncul sebagai eksperimen baru. Pertunjukan wayang kulit ditambah dengan kelir dan blencong.

Santan dan minyak goreng ditemukan. Begitu pula krupuk, trasi dan penganan-penganan dari ketan bertambah variasinya. Masakan pepes dan kukus juga diketemukan. Lalu soga untuk pewarna kain batik, genting dari tanah liat, dan baju yang berlengan dan berkancing. Semua itu tentu saja merupakan pengaruh asing. Barangkali pengaruh dari Cina dan Campa. Tetapi daya adaptasi dan mencerna rakyat terhadap unsur-unsur baru sangat kreatif. Keunikan sastra suluk di zaman itu lebih lagi membuktikan kemampuan orang-orang Jawa untuk beradaptasi tanpa kehilangan diri, bahkan bisa unik.

Mereka penuh harga diri dan pasti diri. Ini semua karena mereka merasa punya jaminan kepastian hidup. Dan kepastian hidup ada karena adanya daulat hukum yang tertera dalam kitab “Salokantara” dan “Jugul Muda” ialah kitab UU Demak yang punya landasan syari’ah agama islam, yang mengakui bahwa semua manusia itu sama derajatnya, sama-sama khalifah Allah di dunia. Raja-raja Demak sadar dan ikhlas dikontrol oleh kekuasaan para wali. Raja-raja Demak berkuasa hanya selama 65 tahun. Tetapi mereka adalah pahlawan bangsa yang telah memperkenalkan daulat hukum kepada bangsanya, yang akan terus membekas sampai kepada Mohammad Syafei, HOS Cokroaminoto dan tokoh-tokoh pembela hak azazi manusia (HAM) dewasa ini.

****

Sayang, begitu muncul Panembahan Senopati, rasa hormat pada daulat hukum itu dilecehkan. Sultan bergelar Sayidin Panatagama, dan terus sampai kepada seluruh keturunannya, kefanatikan terhadap kekuasaan raja yang mutlak dan sentralisasi kekuasaan itu dipertahankan. Rakyat disebut kawula (abdi) dan bukan warganegara. Hidup rakyat tidak pasti. Inisiatif mereka mulai terbatas. Banyak larangan untuk ini dan itu. Rakyat tak bisa mengontrol atau memberi tanggapan kepada kekuasaan. Maka daya hidup rakyat merosot. Yacob Couper, panglima tentara Belanda,
menganggap daya tempur tentara Mataram sangat rendah. Sangat jauh dari deskripsi yang dilukiskan oleh Jono de Borros ataupun Diego de Couto. Sebenarnya saya sudah sering melukiskan perbedaan antara Mataram dan Demak ini berulang kali dalam wawancara-wawancara dengan pers. Tetapi sekarang, maafkanlah, perlu saya ulang lagi demi kejelasan argumentasi pembicaraan saya malam ini. Raja yang melecehkan daulat rakyat, akhirnya juga melecehkan daulatnya sendiri. Sebab daulat rakyatlah yang mendukung daulat raja. Sebagaimana daulat rakyat Inggris yang memungkinkan daulat raja Inggris bergema di seluruh dunia.

Dan menurunnya wibawa daulat rakyat Mataram juga menyebabkan daulat raja mereka semakin merosot. Sultan Agung tidak pernah bisa menjamah Batavia. Anaknya Amangkurat I lari terbirit-birit oleh pemberontakan Trunojoyo. Lalu pergi ke Tegal untuk mengemis perlindungan kepada VOC. Raja yang tidak mau berbagi kekuasaan dengan rakyat itu, malah mau berlindung dibawah ketiak orang asing yang bernama VOC. Belum sampai ke Tegal ia sudah sekarat. Dalam keadaan sekarat, ia diracun oleh anaknya yang punya sifat menjijikkan dipandang dari segi kemanusiaan yang beradab, yang kemudian menggantikannya dan bergelar Amangkurat II. Dan raja yang congkak, yang gila kekuasaan, si Amangkurat II ini suka berdandan seperti Belanda, secara diam-diam dileceh oleh Gubernur Cornelius Speelman sebagai “anak emas kompeni”. Raja yang tambun ini menyebut Gubernur “Eyang” dan menyebut komandan militer lokal Belanda dengan sebutan “Romo”. Lebih jauh lagi, nanti salah satu keturunannya yang bernama Paku Buwono II, ternyata telah melecehkan harga dirinya sendiri. Meskipun ia melecehkan daulat rakyat, ternyata ia tidak segan menulis perjanjian dengan Kompeni Belanda pada tahun 1749 yang bunyinya sebagai berikut: “Inilah surat perkara melepaskan serta menyerahkan terhadap keraton Mataram, dari kanjeng Susuhunan Paku Buwana Senapati Panatagama, ialah dikarenakan oleh perintah Kanjeng Kumpeni yang agung itu, keratuan ini diserahkan kepada Kanjeng Tuwan Gupernur serta direktur di tanah Jawa Djohan Andrijas Baron Van Hogendorf. Hamba, Kanjeng Susuhunan Pakubuwana Senapati Hing Ngalaga Ngabdulrahman Sayidin Panatagama …………..” Begitu dan seterusnya ia tanpa malu-malu merendahkan dirinya dan mengangkat-angkat penguasa asing dengan cara yang berlebihan. Sungguh karikatural. Masa pemerintahan Kartasura dan Surakarta adalah masa yang sangat memalukan bagi sejarah Mataram dan sejarah orang Jawa.

Kesenian yang dilahirkan adalah kesenian manis seperti permen. Penuh rasa haru tetapi tidak punya ketajaman olah pikiran. Ada seorang pujangga yang istimewa: ialah Raden Ronggowarsito yang muncul jauh setelah Mataram sirna. Tetapi ia tidak dihargai oleh para penguasa saat itu, meski sangat dicintai oleh rakyat kebanyakan. Ekonomi kacau. Utang kepada Kompeni menumpuk. Amangkurat II menggadaikan Semarang dan hutan-hutan. Pakubuwana II menggadaikan kerajaan. Sedangkan di Inggris, di masa yang sezaman dengan Amangkurat II, karena rakyat Inggris punya kedaulatan yang jelas, yang dilindungi UU, maka karena informasi mengenai jalannya ekonomi kerajaan Inggris bersifat transparan, dan kepastian hukum bisa bersifat vertikal, tidak horisontal, sehingga perencanaan dagang dan ekonomi bisa lebih aman diatur, maka pada tahun 1694 Bank of England sudah mulai didirikan.

Kekuatan dan bonafiditas perbankan suatu bangsa adalah bonafiditas kemampuannya membangun dan berencana. Kekuatan dan bonafiditas semacam itu hanyalah mampu dihasilkan oleh daulat rakyat yang kuat dan terus dibina. Tujuan dari pidato saya ini adalah untuk secara jujur melakukan instropeksi budaya. Negara kita akhirnya sudah merdeka, tetapi kenapa bangsa Indonesia masih belum juga sepenuhnya bisa merdeka? Bukankah tanpa hak hukum yang bisa berfungsi vertikal suatu bangsa tidak bisa benar-benar merdeka?

Sejarah menunjukkan lubang-lubang dari daya pertahanan kita sebagai suatu bangsa sebagaimana nampak dalam sejarah Mataram. Namun ada juga kenyataan bisa punya harapan apabila menilik kepada sejarah Demak.

Hadirin sekalian.

KESADARAN ADALAH MATAHARI
KESABARAN ADALAH BUMI
KEBERANIAN MENJADI CAKRAWALA
DAN
PERJUANGAN
ADALAH PELAKSANAAN KATA-KATA

* * * *

* Dokumentasi Pidato Kebudayaan, Taman Ismail Marzuki, WS Rendra, 10 Nopember 1997
read more "Megatruh"

Tradisi dalam Kebudayaan

Secara ironis, setelah merdeka dari penjajah. Pemerintah RI tidak segera merehabilitasi hukum adat dan lembaga hukum adat. Soekarno dan Soeharto yang sangat berminat kepada pemerintahan yang memusat itu justru malah melanjutkan aksi penjajah Belanda terhadap hukum adat. Lembaga adat di Sulawesi selatan yang dulu bertanggung jawab kepada rakyat. Oleh Belanda di rubah menjadi adat Self bestuur yang bertanggung jawab kepada Gubernur Jenderal, kemudian oleh Soekarno adat self bestuur itu dilebur dimasukkan menjadi anggota DPRD yang tentu saja menjadi kaki tangan pemerintah Pusat. Sedangkan kekuatan adat di daerah lain menjadi lemah karena para pemimpin adat mereka melemah ditindih oleh kekuasaan para Bupati dan komandan-komandan militer di setiap wilayah distrik militer.

Namun begitu kekuatan lembaga adat di Bali dan Minangkabau sukar dipudarkan fungsinya oleh penjajah Belanda maupun oleh rezim Soekarno, karena di Bali lembaga adat dan hukum adat berkaitan erat dengan kedaulatan agama dan kedaulatan "pura". Sedangkan yang di Minangkabau berkaitan erat dengan kitab Allah dan Syariah.

Baru setelah Orde baru, berkat kekuatan politik Golkar, Amir Mahmud dan Azwar Anaz, pertahanan lembaga adat dan hukum adat di minangkabau jebol. Sebelas Nagari dijadikan 2300 desa. Maka hanya di Bali, hukum adat itu bisa bertahan sampai saat ini.

Dewasa ini dari lunturnya kekuatan hukum adat dan lembaga adat, adalah mencairnya kohesi bangsa di daerah-daerah. Kerusuhan antar golongan agama di Ambon, Maluku, dan Poso lepas dari kendali hukun adat yang dulu di jaman tradisional bisa mengatur kehidupan harmonis antara rakyat yang berbeda-beda agama. Kini, karena sejak rezim Soekarno dan Soeharto para pemuka adat sudah pudar di bawah kekuasaan para Bupati dan para Komando distrik Militer, maka sekian puluh tahun pergantian generasi demi generasi, amnesia terhadap tatanan adat yang mengatur harmonisasi kehidupan antar umat yang berbeda agama di dalam masyarakat pun terjadilah.

Hal itu berbeda dengan apa yang terjadi di Bali. Keutuhan hukum adat masih bisa melindungi keutuhan kohesi masyarakat mereka. meskipun mereka sudah banyak diserbu oleh para pendatang dari luar, dan meskipun mereka sudah menderita dengan parah sebagai akibat bom teroris sebanyak dua kali, namun mereka tidak kehilangan tradisi, sikap, jiwa dan aksi reaksi mereka bila menghadapi masalah-masalah dalam kehidupan. Mereka masih bisa berbekal upacara-upacara agama dan praktek dari nilai etika mereka. Mereka bisa berdamai dengan malapetaka yang menimpa mereka dengan terhormat dan beradab.

Maka seandainya pun secara ajaib, ada konsensus politik untuk menghidupkan kembali hukum-hukum adat di daerah-daerah, maka hal itu sulit untuk dilaksanakan. Sebab sejarah tidak pernah bisa berulang dan waktu selalu berjalan maju.

Menurut Sultan Mudaffar dari Ternate, apabila kita ingin menghidupkan lagi berbagai sisa-sisa yang baik dari tradisi masa lalu, apa yang bisa dilakukan bukanlah pengulangan tetapi "re-inventing" atau dengan kata lain menciptakan sesuatu yang baru berdasarkan bijaksanaan-kebijaksanaan dan pengalaman-pengalaman dari tradisi yang lalu yang baik dan berguna. Pada hakekatnya itulah penyegaran budaya yang kreatif.

Rupa-rupanya ini pula yang dilakukan Airlangga diawal abad ke-11 di masa lalu. Waktu itu beliau berumur 17 tahun. Beliau mewarisi masalah-masalah sosial politik dari pemerintahan kakeknya, Raja Dharmawangsa yang baru lengser. Kohesi masyarakat kacau balau, ketatanegaraan amburadul. Apa yang pertama beliau lakukan? adalah memerintahkan semua desa adat yang berbagai ragam adat istiadatnya satu sama lain yang tentu saja berbeda, karena desa nelayan tak mungkin sama adatnya dengan desa pertanian, dan tidak sama pula dengan desa undagari atau kemasan, begitu seterusnya, semua desa adat itu diminta untuk meninjau dan menyusun kembali hukum adat mereka, agar lebih adil dan lebih mampu membuka diri dalam pergaulan yang lebih luas. Sesudah itu beliau perintahkan agar hukum adat itu punya pengawal yang dinamakan Dewan penjaga adat yang berjumlah 40 orang untuk setiap desa adat.

Inilah ide yang bahkan kita yang hidup di dunia modern ini tidak ada, para ahli tata Negara kita dan para elit politik kita tidak menciptakan pengawal untuk hukum, sehingga hukum kita menjadi tidak mandiri dan tidak terkawal. Tetapi, apa yang diciptakan Airlanggga menciptakan tata hukum yang mandiri dan terkawal.

Sesudah itu, beliau juga menyusun hukum kerajaan untuk mempersatukan semua kepentingan dalam masyarakat yang unsurnya berbeda-beda itu. Bukan untuk menyeragamkan, tetapi untuk menciptakan harmoni dari kepentingan-kepentingan yang dibiarkan untuk tetap berbeda-beda. Barangkali ini yang oleh Mpu Tantanakung disebut sebagai "Bhineka Tunggal Ika". Dan rupa-rupanya inilah pula asal usul dari pengertian "Deso Mowo Toto Negoro Mowo Coro".

Perbedaan-perbedaan dalam berbagai tata desa harus dihormati. Boleh ada cara-cara untuk mengelola kepentingan keutuhan Negara, etapi cara itu tidak boleh "murang toto". Ternyata cara Airlangga tidak menyebabkan Negara menjadi terpecah belah, tetapi justru menyebabkan kokohnya kohesi antar daerah-daerah yang berbeda adatnya.

Inilah salah satu model untuk dipertimbangkan, seandainya bangsa ini ingin melakukan "reinvention" dalam kebudayaan yang kini tengah berantakan. Sedangkan di bidang cita rasa, khususnya di bidang kesenian, memelihara tradisi tidak terlalu sulit. Cukup dengan melakukan konservasi dan sikap peduli dari orang-orang kreatif di bidang cita rasa, agar mereka tahu terima kasih kepada tradisi yang telah mengembangkan cita-rasa bangsa sampai ke taraf yang sekarang, yang tidak bersikap konsumtif kepada pengaruh cita-rasa dari masayarakat adi kuasa di luar negeri.

Sekianlah,

Jogja, 03 Maret 2007

WS Rendra

Sumber: http://www.mail-archive.com/rantaunet@googlegroups.com/msg63929.html
read more "Tradisi dalam Kebudayaan"