Laman

Thursday, April 7, 2011

Agent of Change


sumber: http://www.poskota.co.id
Rendra adalah seniman sekaligus guru yang berhasil mengkader sejumlah seniman.

PADA ulang tahun Rendra yang ke-70, yang diperingati di Graha Bhakti Budaya, Taman Ismail Marzuki, 2005 lalu, sejumlah seniman tampil ke panggung menyampaikan pendapat. Di antaranya Putu Wijaya dan N. Riantiarno. Rendara, kata mereka, adalah seniman yang menempati posisi khusus. Posisinya itu tidak menggantikan dan tidak tergantikan oleh siapapun. Rendra tidak menjiplak gurunya, dan tidak sama dengan murid-muridnya.
Posisi istimewanya itu, tercipta karena menurut penilaian para kririkus seni, Rendra adalah seniman yang menggeluti banyak bidang, dan pergulatannya berhasil mencapai puncak-puncak estetik di dalam peta kesenian Nusantara. Rendra memang seniman generalis.
Rendra adalah penulis dan pembaca puisi yang menggetarkan, penulis naskah drama, penyadur, sutradara sekaligus aktor yang menggemaskan. Ia pernah main film beberapa judul, kemudian ditinggalkannya. Beberapa cerpen pernah ditulisnya. Ia menulis esai budaya, dan pernah menjadi wartawan untuk media yang dipimpin PK Ojong.
Sebagai penyair, Rendra mewarnai perpuisian di Tanah Air melalui sajak-sajak balada. Namun pada dekade 70-an, puisi-puisi Rendra berubah total dari nuansa balada menjadi sajak pamflet yang lantang menggugat. Sajak-sajak pamflet Rendra sangat khas, dan tidak ada penyair yang menulis puisi pamflet dengan kekuatan seperti pamflet yang ditulis Rendra. Kekuatan Rendra dalam sajak pamflet bukan dalam penulisannya saja, tapi juga dalam membacakannya di atas panggung. Adalah Rendra yang disebut-sebut para kritikus sebagai orang yang memperkenalkan teknik poetry reading. Menurut Emha Ainun Najib, penyair yang sekaligus memiliki daya sihir saat membacakan puisinya adalah Rendra dan Sutardji Calzoum Bachri.
Rendra juga disebut sebagai salah seorang mbah teater modern di Tanah Air. Dosen Sekolah Tinggi Seni Indonesia (STSI) Bandung Yoyo C. Durachman, menyebut ada enam grup teater modern yang mewarnai jagad teater di Indonesia, yaitu Bengkel Teater (Rendra, alm), Teater Populer (Teguh Karya, alm), Studiklub Teater Bandung (Suyatna Anirun, alm), Teater Ketjil (Arifin C. Noer, alm), Teater Mandiri (Putu Wijaya), dan Teater Koma (N. Riantiarno).
Namun Rendra ditahbiskan bukan sekadar mbah, tapi juga pelopor teater modern. Kepeloporannya terletak pada upaya membumikan teater Barat. Sebagai misal, tokoh Hamlet dalam lakon Shakespeare, ketika dipentaskan oleh Rendra diganti menjadi Hamlet orang Jawa.
Multi kreativitas itu diperoleh karena Rendra menerima pengetahuan dari banyak guru. Sejak usia dini, ia sudah diajari membaca puisi dan pidato oleh inangnya, juga oleh ayahnya yang guru Bahasa. Sewaktu kuliah Jurusan Sastra Inggris di UGM (tidak tamat), ia adalah juniornya Umar Kayam di grup teater. Rendra menempatkan Umar Kayam sebagai sang guru.
Pada 1964-1967, Rendra pergi ke Amerika untuk belajar drama di American Academy of Dramatical Art, New York. Rendra juga memperdalam ilmu meditasi yang ia kembangkan dari warisan Mas Sujono (Sultan Hamengkubuwono I). Selain mempelajari teori kesenian Barat yang rasionalistik, Rendra juga menggali teori-teori kesenian dari India. Konsepsi keindahan yang dituangkan Rendra berasal dari India. Kunci keindahan menurut Rendra harus bersifat ahimsa (tanpa kekerasan), aparigraha (tanpa pamrih), dan anekanta (beragam). Rendra juga mempelajari silat Bangau Putih dari Subur Rahardja. Dalam melakoni hidup, Rendra mengaku selalu membutuhkan seseorang guru yang bisa menyampaikan kritik dan mengingatkan.
Pada akhirnya, Rendra juga menjadi seorang guru dengan melahirkan sejumlah seniman pesohor di Tanah Air, atau setidaknya menjadi creative partner. Almarhum Arifin C Noer, masih tinggal di Cirebon ketika mengawali berteater. Ia kemudian menerima surat dari Rendra untuk bergabung ke dalam grup teater yang hendak dibentuknya. Arifin pun memenuhi undangan Rendra, berangkat ke Yogya, dan mereka pun berteman. Mereka mementaskan lakon Menunggu Godot yang disadur dari karya William Bulter Yeats.
Arifin menyampaikan kesan, Rendra adalah seorang yang kalau makan saja nampak begitu menghayatinya, menikmati setiap suapan yang dilakukannya. Apalagi dalam berkesenian.
Sekira tahun 1964, grup itu bubar karena Rendra pergi ke Amerika untuk sekolah drama. Sepulang dari Amerika, pada bulan Oktober 1967, Rendra mendirikan Bengkel Teater Yogya. Bengkel Teater kemudian pindah ke Jakarta, dan Rendra bermarkas di kawasan Grogol. Awal dekade 1990, Bengkel Teater dipindahkan ke Citayam, Depok, dan namanya menjadi Bengkel Teater Rendra.
Bengkel Teater didirikan dengan tujuan menjadi agent of change (agen perkembangan) untuk membantu pembangunan masyarakat. Rendra tidak bermaksud mencetak seniman belaka, tetapi menjadi seniman plus yang sanggup menjadi inspirasi bagi masyarakat sekitarnya.
Beberapa pesohor yang pernah bergabung dengan Bengkel Teater dari waktu ke waktu, ada di antaranya yang mengakui Rendra sebagai guru, antara lain Adi Kurdi (aktor dan sutradara), Dedy Sutomo (aktor film), Putu Wijaya (Teater Mandiri), Emha Ainun Najib (budayawan), Syu’bah Asa (kritikus seni), Ratna Sarumpaet (Teater Satu Merah Panggung), Sawung Jabo (musisi), Jose Rizal Manua (Teater Tanah Airku), Edi Haryono (Bela Studio), Sitok Srangenge (penyair),Radhar Panca Dahana (penyair, aktor, esais).
Di Bengkel Teater, murid-murid yang nyantrik bukan hanya belajar kesenian. Sebagaimana tujuannya untuk menciptakan agent of change, metode pendidikan yang dirancang Rendra dalam silabus, lebih merupakan usaha untuk membangun karakter individual dan mengembangkan mutu sumber daya manusia.
Di Bengkel Teater, setiap murid akan dipelajari karakteristiknya melalui gerak naluri. Rendra akan menyarankan sebaiknya Anda mendalami bidang ini, atau itu, setelah narulinya dibaca. Bukan hanya spiritual yang dipelajari, tetapi juga pembangunan fisik. Selain latihan silat, Rendra mengembangkan teknik-teknik untuk meningkatkan flastisitas tubuh dan energi. Menurut Rendra, sumber energi manusia berasal dari colon (usus besar), karena itu, setiap makan harus dicerna dengan baik supaya colon bekerja secara efektif. Sumber energi yang lain adalah nafas dan fisik, karena itu di Bengkel diajarkan pernafasan dan silat. Sumber energi paling baik berasal dari Tuhan, ini bersangkut dengan yang namanya kharisma dan spiritual. Karena itu, setiap murid Rendra harus menjalankan perintah agama, dan menjauhi pantangan yang datang dari agama.
Rendra mengajari orang untuk bisa hidup melalui kesenian, dan bukan semata untuk berkesenian. Hal itu terungkap juga dalam butir-butir Prasetya Bengkel Teater Rendra yang dibacakan saat murid dilantik menjadi anggota penuh Bengkel, di antaranya bahwa: Aku ini milik Tuhan dan hanya mengabdi kepada Tuhan. Aku setia pada jalannya alam. Aku setia pada hati nuraniku. Aku tidak akan berlebih, segala yang berlebih akan kukembalikan kepada Tuhan melalui jalannya alam dan kebudayaan. [doddi ahmad fauji]

Sumber: gugahjanari.blogspot.com

No comments:

Post a Comment