Laman

Thursday, April 7, 2011

Tradisi dalam Kebudayaan

Secara ironis, setelah merdeka dari penjajah. Pemerintah RI tidak segera merehabilitasi hukum adat dan lembaga hukum adat. Soekarno dan Soeharto yang sangat berminat kepada pemerintahan yang memusat itu justru malah melanjutkan aksi penjajah Belanda terhadap hukum adat. Lembaga adat di Sulawesi selatan yang dulu bertanggung jawab kepada rakyat. Oleh Belanda di rubah menjadi adat Self bestuur yang bertanggung jawab kepada Gubernur Jenderal, kemudian oleh Soekarno adat self bestuur itu dilebur dimasukkan menjadi anggota DPRD yang tentu saja menjadi kaki tangan pemerintah Pusat. Sedangkan kekuatan adat di daerah lain menjadi lemah karena para pemimpin adat mereka melemah ditindih oleh kekuasaan para Bupati dan komandan-komandan militer di setiap wilayah distrik militer.

Namun begitu kekuatan lembaga adat di Bali dan Minangkabau sukar dipudarkan fungsinya oleh penjajah Belanda maupun oleh rezim Soekarno, karena di Bali lembaga adat dan hukum adat berkaitan erat dengan kedaulatan agama dan kedaulatan "pura". Sedangkan yang di Minangkabau berkaitan erat dengan kitab Allah dan Syariah.

Baru setelah Orde baru, berkat kekuatan politik Golkar, Amir Mahmud dan Azwar Anaz, pertahanan lembaga adat dan hukum adat di minangkabau jebol. Sebelas Nagari dijadikan 2300 desa. Maka hanya di Bali, hukum adat itu bisa bertahan sampai saat ini.

Dewasa ini dari lunturnya kekuatan hukum adat dan lembaga adat, adalah mencairnya kohesi bangsa di daerah-daerah. Kerusuhan antar golongan agama di Ambon, Maluku, dan Poso lepas dari kendali hukun adat yang dulu di jaman tradisional bisa mengatur kehidupan harmonis antara rakyat yang berbeda-beda agama. Kini, karena sejak rezim Soekarno dan Soeharto para pemuka adat sudah pudar di bawah kekuasaan para Bupati dan para Komando distrik Militer, maka sekian puluh tahun pergantian generasi demi generasi, amnesia terhadap tatanan adat yang mengatur harmonisasi kehidupan antar umat yang berbeda agama di dalam masyarakat pun terjadilah.

Hal itu berbeda dengan apa yang terjadi di Bali. Keutuhan hukum adat masih bisa melindungi keutuhan kohesi masyarakat mereka. meskipun mereka sudah banyak diserbu oleh para pendatang dari luar, dan meskipun mereka sudah menderita dengan parah sebagai akibat bom teroris sebanyak dua kali, namun mereka tidak kehilangan tradisi, sikap, jiwa dan aksi reaksi mereka bila menghadapi masalah-masalah dalam kehidupan. Mereka masih bisa berbekal upacara-upacara agama dan praktek dari nilai etika mereka. Mereka bisa berdamai dengan malapetaka yang menimpa mereka dengan terhormat dan beradab.

Maka seandainya pun secara ajaib, ada konsensus politik untuk menghidupkan kembali hukum-hukum adat di daerah-daerah, maka hal itu sulit untuk dilaksanakan. Sebab sejarah tidak pernah bisa berulang dan waktu selalu berjalan maju.

Menurut Sultan Mudaffar dari Ternate, apabila kita ingin menghidupkan lagi berbagai sisa-sisa yang baik dari tradisi masa lalu, apa yang bisa dilakukan bukanlah pengulangan tetapi "re-inventing" atau dengan kata lain menciptakan sesuatu yang baru berdasarkan bijaksanaan-kebijaksanaan dan pengalaman-pengalaman dari tradisi yang lalu yang baik dan berguna. Pada hakekatnya itulah penyegaran budaya yang kreatif.

Rupa-rupanya ini pula yang dilakukan Airlangga diawal abad ke-11 di masa lalu. Waktu itu beliau berumur 17 tahun. Beliau mewarisi masalah-masalah sosial politik dari pemerintahan kakeknya, Raja Dharmawangsa yang baru lengser. Kohesi masyarakat kacau balau, ketatanegaraan amburadul. Apa yang pertama beliau lakukan? adalah memerintahkan semua desa adat yang berbagai ragam adat istiadatnya satu sama lain yang tentu saja berbeda, karena desa nelayan tak mungkin sama adatnya dengan desa pertanian, dan tidak sama pula dengan desa undagari atau kemasan, begitu seterusnya, semua desa adat itu diminta untuk meninjau dan menyusun kembali hukum adat mereka, agar lebih adil dan lebih mampu membuka diri dalam pergaulan yang lebih luas. Sesudah itu beliau perintahkan agar hukum adat itu punya pengawal yang dinamakan Dewan penjaga adat yang berjumlah 40 orang untuk setiap desa adat.

Inilah ide yang bahkan kita yang hidup di dunia modern ini tidak ada, para ahli tata Negara kita dan para elit politik kita tidak menciptakan pengawal untuk hukum, sehingga hukum kita menjadi tidak mandiri dan tidak terkawal. Tetapi, apa yang diciptakan Airlanggga menciptakan tata hukum yang mandiri dan terkawal.

Sesudah itu, beliau juga menyusun hukum kerajaan untuk mempersatukan semua kepentingan dalam masyarakat yang unsurnya berbeda-beda itu. Bukan untuk menyeragamkan, tetapi untuk menciptakan harmoni dari kepentingan-kepentingan yang dibiarkan untuk tetap berbeda-beda. Barangkali ini yang oleh Mpu Tantanakung disebut sebagai "Bhineka Tunggal Ika". Dan rupa-rupanya inilah pula asal usul dari pengertian "Deso Mowo Toto Negoro Mowo Coro".

Perbedaan-perbedaan dalam berbagai tata desa harus dihormati. Boleh ada cara-cara untuk mengelola kepentingan keutuhan Negara, etapi cara itu tidak boleh "murang toto". Ternyata cara Airlangga tidak menyebabkan Negara menjadi terpecah belah, tetapi justru menyebabkan kokohnya kohesi antar daerah-daerah yang berbeda adatnya.

Inilah salah satu model untuk dipertimbangkan, seandainya bangsa ini ingin melakukan "reinvention" dalam kebudayaan yang kini tengah berantakan. Sedangkan di bidang cita rasa, khususnya di bidang kesenian, memelihara tradisi tidak terlalu sulit. Cukup dengan melakukan konservasi dan sikap peduli dari orang-orang kreatif di bidang cita rasa, agar mereka tahu terima kasih kepada tradisi yang telah mengembangkan cita-rasa bangsa sampai ke taraf yang sekarang, yang tidak bersikap konsumtif kepada pengaruh cita-rasa dari masayarakat adi kuasa di luar negeri.

Sekianlah,

Jogja, 03 Maret 2007

WS Rendra

Sumber: http://www.mail-archive.com/rantaunet@googlegroups.com/msg63929.html

No comments:

Post a Comment